Tentang Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan prinsip penting dalam islam. Hal itu dikarenakan, baiknya kehidupan manusia bergantung bagaimana keta’atan mereka kepada Allah SWT dan rasul-Nya, untuk mencapai keta’atan secara sempurna atau mendekati ke arahnya dibutuhkan saling mengingatkan, meluruskan dan memperbaiki atau dengan kata lain harus diadakan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, umat islam menjadi umat terbaik. Allah SWT berfirman:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر و تؤمنون بالله و لو ءامن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون و أكثرهم الفاسقون (آل عمران : 110)
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)
1. Definisi Ma’ruf dan Munkar
Ma’ruf secara syara’ artinya semua yang diperintahkan syara’, dipujinya perbuatan itu dan dipuji pula pelakunya. Termasuk ke dalam ma’ruf adalah semua keta’atan. Contoh perkara ma’ruf mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah SWT, beriman kepada rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, berhajji bagi yang mampu, berbakti kepada orang tua, berkata jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, menyambung tali silaturrahim, berbuat baik kepada keluarga, tetangga, anak yatim, orang miskin dan melakukan akhlak mulia lainnya.
Munkar secara syara’ artinya semua yang diingkari syara’, dicelanya perbuatan itu dan pelakunya. Termasuk ke dalam munkar adalah semua kemaksiatan. Contoh perkara munkar adalah kufur kepada Allah SWT dan berbuat syirk, meninggalkan shalat, meninggalkan shalat jum’at, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturrahim, berbuat jahat kepada tetangga, bermu’amalah dengan cara riba, berkata dusta, menggunjing orang, mengadu domba, wanita membuka auratnya, mengurangi takaran dan timbangan, mengadakan bid’ah dalam agama dan lain-lain.
2. Hukum Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu melakukannya. Wajibnya adalah wajib kifayah artinya jika sudah ada yang melakukannya, maka yang lain tidak berdosa, sebagaimana firman Alloh SWT:
و لتكن منكم أمة يدعون إلى الخير و يأمرون بالمعروف و ينهون عن المنكر و ألئك هم المفلحون (آل عمران : 104)
Artinya: : “Maka hendaklah ada diantara kalian satu kelompok yang mengajak pada kebaikan dan memerintahkan yang ma’ruf serta mencegah dari kemungkaran, maka mereka itulah orang-orang yang berbahagia”. (QS. Ali Imran: 104)
Rasululloh SAW bersabda :
و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لتأمرن بالمعروف و لتنهون عن المنكر أو ليشوكن الله يبعث عليكم عقابا منه ثم تدعونه فلا يستجيب لكم (رواه الترمذي)
Artinya: “Rosululloh SAW bersabda hendaklah kalian memerintahkan kebaikan dan cegahlah kemunkaran atau Allah hendak mengirimkan kepada kalian siksa darinya, kemudian kalian berdo’a lalu tidak akan dikabulkan”. (HR. Turmudzi)
Kewajibannya terletak pada kemampuan seseorang, sehingga seseorang wajib melakukannya sesuai dengan kemampuan. Rasulullah SAW bersabda:
من رأ منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعاف الإيمان (رواه مسلم )
Artinya: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran diantara kamu, maka rubahlah dengan tangannya. jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
3. Syarat Perbuatan Yang Wajib Diingkari
Syarat perbuatan yang wajib diingkari adalah:
a. Perbuatan itu adalah munkar (maksiat), baik maksiat kecil maupun besar
b. Kemungkaran itu masih berjalan. Oleh karena itu, jika sudah berhenti, maka cukup dinasehati pelakunya
c. Kemungkaran itu tampak, tanpa dimata-matai, karena tidak boleh memata-matai seorang muslim
d. Perbuatan tersebut memang sudah diketahui munkar dengan tang adanya ijtihad, artinya kemungkaran itu sudah berdasarkan al Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas jaliy (jelas). Dengan demikian masalah yang diperselisihkan (khilafiyah), maka tidak berlaku nahi mungkar di sana, karena الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد (ijtihad tidak dapat dirusak dengan ijtihad), namun bid’ah dalam agama bukanlah masalah khilafiyah.
Ada yang menambahkan syarat melakukan nahi munkar, yaitu mendapatkan izin dari imam, namun pendapat ini lemah karena kaum muslimin sejak zaman Nabi SAW melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa meminta izin dari imam.
4. Adab Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan adab-adab berikut:
a. Memiliki ilmu, artinya bahwa yang diperintahkannya adalah benar-benar perkara yang ma’ruf menurut syara’ (ada dalilnya) dan apa yang dilarangnya adalah perkara yang munkar menurut syara’,
b. Hendaknya ia bersikap wara’, yakni tidak mengerjakan perkara munkar yang hendak dicegahnya serta tidak meninggalkan perkara ma’ruf yang hendak diperintahkannya. Sebagaimana firman Alloh SWT :
أتأمرون الناس بالبر و تنسون أنفسكم و أنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون (البقرة : 44)
Artinya: “Apakah kalian memerintahkan berbuat baik dan kalian melupakan dirimu sendiri, sedangkan kalian membaca kitab. Apa kalian tidak berfikir”. (QS. Ali Imron : 44)
c. Hendaknya ia berakhlak mulia, sabar memikul sikap kasar dari orang lain, menyuruh dengan lemah lembut, demikian juga melarang dengan lemah lembut. Ia tidak marah dan dendam ketika mendapatkan gangguan dari orang yang dilarangnya, bahkan ia bersabar dan mema’afkan. Allah berfirman:
يا بني أقم الصلاة و أمر بالمعروف و انه عن المنكر و اصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور (لقمان : 17)
Artinya: “Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu, termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
5. Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
a. Memberi tahu, artinya orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar memberi tahu kepada orang yang dilarangnya bahw perbuatan yang dilakukan oleh dia adalah termasuk dari hal-hal yang dilarang oleh syara’
b. Mencegah dengan cara menasehati dan menakut-nakuti terhadap siksaan allah apabila ia melaksanakan perbuatan tersebut.hal tersebut dilakukan untuk orang yang telah mengetahui bahwa hal yang dilakukanya termasuk perbuatan yang dilarang.
c. Dengan cara ucapan yang kasar. Hal demikian dilaksanaka jika orang yang dilarang tidak bisa dicegah dengan cara halus, selalu tampak melakukan perbuatan yang dilarang itu dan meremehkan atau menghiraukan pada nasehat-nasehat yang telah disampaikan padanya.
Pada tingkatan ini terdapat pula didalamnya dua tingkatan, yakni :
► Orang yang melarang tidak melakukan tingkatan diatas kecuali dalam keadan terpaksa dan dia tidak bisa berbuat dengan cara yang halus,
► Orang yang melarang tidak berkata kecuali kebenaran, dia tidak sewenang-wenang dalam berkata, artinya dia berkata hanya sekedarnya saja atau sesuai kebutuhan.
d. Merubah dengan tangan, artinya orang yang melarang bertindak dengan melakukan tindakan-tindakan anggota badan sudah tidak dengan menggunakan ucapan-ucapan lagi.
KESIMPULAN
Disini kami dapat menyimpulkan dari keterangan-keterangan diatas, bahwa kita dapat mengetahui secara global pandangan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kesimpulan tersebut adalah:
1. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan hal yang sangat penting, baik dalam agama maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2. Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah wajib kifayah, artinya kita akan gugur manakala sudah ada orang yang melaksanakannya.
3. Ketika kita telah memahami betul tentang atauran-aturan dalam amar ma’ruf nah munkar kita tidak akan gegabah dalam bertindak atau istilah lain sembrono.
4. Ketika kita telah mengamalkan apa yang ada dalam aturan-aturan amar ma’ruf nahi munkar kita akan menjadi orange yang dekat kepada Alloh SWT dan kita juga termasuk orang yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
Demikian kesimpulan dari kami dan kami juga mengharpkan saran kritiknya yang membangun dari para pembaca semua. Atas perhatianya kami ucapkan banyak terima kasih.
Rabu, 18 November 2009
Selasa, 17 November 2009
TAHLILAN
1. Pengertian Secara Umum
Tahlil menurut bahasa berasal dari kata هلل يهللل تهليلا yang berarti membaca kalimat لا اله الا الله . Dengan pengertian demikian, sebenarnya acara tahlil tentu hanya membaca kalimah thoyyibah. Akan tetapi dalam prakteknya kita sering menjumpai bahwa ketika orang melaksanakan tahlil, maka dalam kegiatan tersebut tidak hanya mengucapkan لا اله الا الله , akan tetapi disertai oleh beberapa dzikir atau bacaan lain yang telah disusun oleh para ulama. Sebagaiman dalam kaidah bahasa arab ada istilah ذكر الجز إرادة الكل (menyebutkan sebagian tapi diharapkan semuanya). Istilah inilah yang menandakan bahwa tahlil tidak hanya membaca lafadz لا اله الا الله , akan tetapi bersama dzikir-dzikir yang lain. Dalam hal memperbanyak dzikir, Allah telah memerintahkan kita dalam firman-Nya :
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا (الأحزاب :41-42)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak mungkin. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan sore". (QS . Al Ahzâb : 41-42)
Dan firman Allah yang lain :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين (الأعراف : 205)
Artinya : "Berdzikirlah, sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri, perasaan takut dan tidak mengeraskan suara diwaktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". (QS. Al A'râf : 205)
Nabi Muhammad SAW juga memerintahkannya, seperti dalam hadits :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله (مسند ابن حنبل : 8353 )
Artinya : "Dari Abi Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Perbaharuilah iman kalian !, para sahabat bertanya : Bagaimana caranya, Ya Rasulallah ?, Kemudian Rasulullah menjawab : Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh“. ( Musnad ibn Hanbal : 8353 )
عن جابر ابن عبد الله يقول سمعت رسول الله يقول أفضل الذكر لا اله الا الله (رواه الترمذي)
Artinya : "Dari sahabat Jabir ra. ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Dzikir yang paling utama adalah la ilaaha illa allah ". (HR. Turmdzi)
عن أبى هريرة قال قال رسول الله كلمتان خفيفتان على اللسان ثقيلتان فى الميزان حبيبتان الى الرحمن سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : "Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasullullah SAW bersabda : ‘Dua kalimah yang ringan dilidah (mudah diucapkan), berat dalam timbangan (amal diakhirat), dicintai oleh Allah SWT yaitu : subhanallah wa bi hamdih subhanallahil 'adhim". (HR. Bukhâri Muslim)
2. Pengertian Secara Khusus
Sebagaimana pengertian tahlil secara bahasa, maka pengertian tahlil secara khususpun tidak jauh beda dari pengertian tahlil secara umum. Secara khusus tahlil adalah sebagaimana halnya yang kita jumpai dalam berbagai acara, yakni sesuatu yang dimulai dengan membaca al-Fatihah yang disertai tawasul kepada para Nabi, sahabat, ulama dengan diikuti beberapa bacaan seperti tasbih, tahmid, sholawat dan bacaan-bacaan yang diambilkan dari al-Qur'an serta hadits Nabi kemudian diakhiri dengan do'a.
Hal ini sebenarnya tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menyusun bacaan-bacaan tersebut. Penyusunan ini merupakan inisiatif dari para ulama yang memandang bahwa tahlil diatas diperbolehkan karena berisi dzikir-dzikir yang dianjurkan agama dan bertujuan menyumbangkan pahala kepada orang yang sudah meninggal supaya bermanfaat baginya dan merupakan hal yang dianjurkan dalam syari'at ketika kita mengamalkan tentang isi dan tujuannya.
3. Seputar Fida’an
Fida’ atau lebih kita kenal dengan fida'an adalah sebuah istilah dalam suatu ritual dengan membaca lafadz tahlil sebanyak 70.000 kali yang faidahnya adalah sebagai penebus dari api neraka.
Sumber ritual ini diambil dari Syekh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad al-Yâfi'i bersumber dari Syekh Abi Zaid al-Qurthûbi dalam sebagian riwayatnya :
سمعت من بعض الأثر أن من قال لا اله الا الله سبعين ألف مرة كانت فداءه من النار فعملت على ذلك رجاء بركة الوعد أعمالا ادخرتها لنفسى وعملت منها لأهلى
Artinya : "Aku mendengar dari salah satu Atsar (haditsnya sahabat Nabi) bahwasanya barang siapa membaca لا اله الا الله sebanyak 70.000 kali, maka bacaan tersebut akan menjadi tebusan dari api neraka".
Keshohehan status atsar dalam riwayat ini masih dalam perselisihan para ulama. Sebagian memvonis riwayat tadi adalah dha'if, karena Imam Qurthubi tidak dikenal kepiawaianya dibidang hadits oleh ulama hadits, sebagaimana kita ketahui syarat dalam meriwayatkan hadits harus jelas status orang tersebut, maka hadits tersebut belum bisa untuk menjadi dalil kesunahan fidâ`an. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa atsar yang diriwayatkan oleh Imam Qurthûbi memang benar adanya. Termasuk ulama yang mempunyai pendapat semacam itu adalah al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad al-Wâyily dan al-Imâm Syaikhul Islam al Thanbadawi al Bakri didalam kitab fatawinya. Bahkan beliau memantapkan kita dengan menunjukkan sebuah referensi dengan ungkapan beliau, “ Lihatlah atsar tadi dikitab Al maqâshid al-Hasanah fi al-Ahâdits ad-Dâ`irah ‘alâ al-Alsinah milik Syaikh al-Imam al-Khafidh Syamsuddîn al-Sakhâwi.” Pendapat ini didukung oleh hadits :
مَنْ بَلَغَهُ عَنْ اللَّهِ شَيْءٌ لَهُ فِيهِ فَضِيلَةٌ فَأَخَذَهُ إيمَانًا بِهِ وَرَجَاءَ ثَوَابِهِ أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ (رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ فِي جُزْئِهِ وَيَتَوَجَّهُ أَنَّ إسْنَادَهُ حَسَنٌ)
Artinya : "Barang siapa yang datang kepadanya dari Allah suatu amal yang mempunyai keutamaan, kemudian dia mengamalkan dengan mengimaninya dan mengharapkan limpahan pahalanya, maka Allah SWT akan memberikan apa yang dia harapkan walaupun sebenarnya suatu amal tadi sebenarnya tidak seperti itu”. (HR. Hasan bin ‘Arofah)
Keterangan yang lain adalah : _________
Artinya : "Ketahuilah, bahwa sebaiknya ketika datang kepadamu sesuatu yang didalamnya terdapat fadilah suatu amal, maka lakukanlah walaupun sekali saja, supaya kamu menjadi bagian darinya, dan tidak seharusnya meninggalkan secara mutlak akan tetapi datanglah dengan mudah karena sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang telah disepakatinya, 'ketika aku perintahkan kepadamu semua tentang sesuatu, maka kerjakanlah semampumu".
Dari pengertian diatas cukup jelas dan didukung dengan beberapa riwayat, maka keabsahan untuk melakukan fida'an tidak diragukan lagi, karena ada riwayat yang memperbolehknya. Menurut al-‘Alâmah Jamâl al-Qamâth, mengamalkan hal yang demikian lebih utama, karena tidak bertentangan dengan ushul syari’ah. Hal ini diamini oleh Sayyid Muhamad bin Ahmad bin ‘Abdul Bari al-Ahdali.
4. Hukum Membaca Tahlil/ Menghadiahkan Pahala Amal Pembacaan Al-Qur'an, Dzikir Dll.
Dikalangan umat islam membaca al-Qur'an, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia adalah suatu ritual yang sudah biasa kita jumpai, dengan bacaan tersebut diharapkan dapat mengurangi siksa kubur dan menambah amal bagi simayit. Lantunan Yasîn dan surat-surat lain dalam al-Qur'an serta gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukanlah pemandangan yang asing ketika kita memasuki sebuah rumah duka atau pemakaman. Dengan khusyu', kerendahan hati dan prasangka baik kepada Allah SWT yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun, para penta'ziah ataupun peziarah melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. Mereka yakin perbuatan tersebut akan bermanfaat bagi peziarah maupun yang diziarahi.
Pemandangan tersebut acap kali kita sandarkan bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan memintakan ampun kepada yang kita tuju. Hal ini juga menepis anggapan bahwa kita tidak dapat memintakan ampun atau menghadiahkan pahala kepada orang lain.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hasyr ayat 10 yang artinya :“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa : "Ya Allah, berilah ampunan pada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami.” (QS al-Hasyr : 10 )
Dalam ayat ini Allah SWT telah meridhai terhadap orang-orang yang memintakan ampun untuk dirinya dan kerabatnya yang sudah meninggal dunia. Dengan bersandar pada ayat tersebut berarti fenomena tahlil yang sering kita jumpai dimana didalamnya terdapat makna dan tujuan yang sama dengan kandungan ayat tersebut adalah boleh dan sangat dianjurkan oleh agama.
Dalam Sunan Abu Dawud telah disebutkan bahwa Amîrul Mukminîn Ustman bin Affân ra. berkata, ‘Dahulu, setelah jenazah dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di depan makam dan bersabda:
اِسْتغفِروا لأخيكم وَسَلُوْا له بالتَّثبًيت فإنه الآن يُسْأَل (رواه أبو داود)
Artinya: " Mintakanlah ampun bagi saudara kalian ini, dan berdo'alah agar ia diteguhkan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat), sebab, saat ini ia sedang ditanya! "(HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut jelas bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk mendoakan dan memohonkan ampun tatkala jenazah telah dikubur. Jika doa tidak bermanfaat bagi mayit, tentu Rasulullah SAW tidak akan menganjurkanya.
Ayat al-Quran yang menerangkan adanya manfaat ketika mendo’akan kepada orang lain bagi dirinya dan orang yang dido’akan antara lain :
واستغفروا لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات (محمد : 19)
Artinya : “Dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin laki-laki dan permpuan.” (QS. Muhammad :19)
ربنا غفر لنا و لوالدي و للمؤمنين يوم يقوم الحساب (ابراهيم :41)
Artinya : ”Ya Tuhan kami ampunilah aku dan ibu bapakku dan orang-orang mukmin sekalian pada hari hisab.” (QS. Ibrahim : 41)
Dari dua ayat diatas jelas bahwa orang yang lain bisa mendapatkan pahala dari apa yang telah diminta oleh orang yang berdo’a dan menghadiahkan kepadanya.
Dari dalil hadits yang memperbolehkan tahlil diantaranya :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله r يقول إذا صليتم على الميت فأخلِصوا له الدعاء ( سنن ترمذي رقم 2784)
Artinya :"Dari Abi Hurairoh ra. Dia berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ketika kalian semua mensholati mayit, maka ihklaslah dalam mendo'akannya ". (Sunan Turmudzi hal.2784)
Hadits diatas telah jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan umat islam untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini berarti doa yang dibaca dengan tulus ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang dimaksud.
Adapun tentang hukum membaca Al-Quran dihadapan jenazah atau makam itu juga dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
إقرؤوا يس على موتاكم (رواه أبو داود و ابن ماجة)
Artinya: " Bacakanlah surat Yasîn kepada orang-orang yang meniggal dunia diantara kalian!” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
عن معقيل بن يسار أن رسول الله r قال : يس قلب القرآن لايقرؤها رجل يريد الله تبارك وتعالى والدار الآخرة إلا غفر له واقررها على موتاكم (سنن أحمد بن حنبل رقم 19415)
Artinya: "Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah SAW bersabda : Surat Yasin adalah jantung al-Quran, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridho'an) Allah Tabaraka Wata'ala dan negeri akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah Yasîn kepada orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian.” (Musnad Ahmad bin Hanbal hal.19415)
Hadits tersebut menepis anggapan bahwa yang harus dido’akan adalah orang yang belum mati atau sekarat. Menurut Syekh Muhibbuddin Ath-Thobari bahwa kata موتكم adalah orang yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya, adapun yang mengartikan “orang yang akan meninggal dunia” adalah tidak benar.
Sayyid Zainal Abidin al-Alawi Al-Husaini dalam kitab al-Ajwibah al-Ghâliyah fi 'Aqidah Firqah an-Najiyah menuliskan :
"Para ulama Muhaqqiqin menyebutkan bahwa hadits di atas (tentang pembacaan surat Yasin kepada yang telah meninggal dunia) berlaku secara umum, baik untuk mereka yang sedang sekarat, maupun bagi mereka yang telah meninggal dunia sebagaimana tampak jelas dalam teks hadits tersebut".
Dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنْ الْأَجْرِ بِعَدَدِ الْأَمْوَاتِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
Artinya : ”Dari Sayyidina Ali ra. sesungguhnya Nabi SAW bersabda,’Barang siapa lewat di kuburan dan membaca قل هو الله أحد (surat al-Ikhlâsh) sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang mati, maka ia akan diberi pahala sesuai jumlah orang yang meninggal”. (HR. ad-Dâruquthny)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أن النبي قَالَ إن الله ليرفع الدرجةَ للعبد الصالح في الجنة فيقول ياربِّ أنَّى هَذِهِ ؟ فَيَقُولُ باسْتِغْفَارِ وَلَدِك لكَ (أخرجه أحمد وقال ابن كثير في تفسيره إسناده صحيح)
Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seorang hamba yang shalih disurga’. Ia bertanya, ‘Wahai Tuhanku, Bagaimana aku mendapatkan ini? Allah menjawab,’ Dengan permohonan ampun dari anakmu untukmu”. (HR Ahmad)
Dari dalil diatas bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi SAW menganjurkan kita untuk membaca al-Quran dan dzikir-dzikir lainya kepada orang yang telah meninggal serta pahalanya bisa kita hadiahkan pada orang yang telah meninggal.
Imam Abu Hanifah menyatakan, " Barang siapa mengatakan pahalanya tidak sampai kepada ahli mayit, maka dia berarti merusak kesepakatan para ulama "
Imam Ibnu Hajar juga berpendapat, " Madzhab ahli sunnah itu mempersilahkan menjadikan pahala amalnya dan sholatnya diperuntukkan kepada orang yang sudah meninggal dunia dan pahalanya akan sampai kepadanya"
Imam al-Qurtubi juga mengatakan, " Ulama sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada arang yang sudah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-Quran, do'a dan istighfar dan itu semua termasuk kategori sadaqah ".
Imam an-Nawawi dalam kitab Adzkarnya juga mengatakan :
" أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصِلُهم ثوابُهم "
"Ulama sepakat bahwa do'a yang diperuntukkan pada orang yang wafat akan memberikan manfaat serta akan sampai pahalanya"
5. Membaca Al-Quran Dan Tahlil Di Pemakaman
Membaca al-Quran atau lainnya dipemakaman hampir sama dengan membaca al-Quran dirumah dengan tujuan pahalanya dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal. Hanya saja kalau membaca dipemakaman itu mempunyai nilai tambah tersendiri, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah rha. bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عنده إلا استأنس به وردّ عليه حتى يقوم (رواه الديلمي )
Artinya : “Tidaklah seseorang yang berziarah kemakam saudaranya dan duduk disampingnya, melainkan saudaranya tersebut merasa senang dengan kehadirannya, dan saudaranya juga menjawab salam sehingga seseorang tadi berdiri”. (HR. ad Dailami)
Al-Hâfidh Jalâluddin as-Suyûthi berkata, ”Al-Baihaqi dan at-Thabrâny meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda :
إذا مات أحدكم فلا تحبسوه وأِسْرِعوا به إلى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة الكتاب وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره ( رواه الطبراني في الكبير ) ولفظ البيهقي "فاتحة البقرة وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره
Artinya :”Ketika salah satu dari kalian meninggal, maka jangan lama-lama dirumah, segeralah membawanya kepemakaman dan bacakanlah disisi kepalanya surat al-fatihah dan disisi kedua kakinya akhir surah al-baqarah” (Dalam riwayat al-Baihaqy,”dengan awal al-Baqarah) dan disisi kedua kakinya dengan akhir surat al-Baqarah ketika dikuburnya.”
Sedang Ibnu Umar sendiri pernah berkata :
ان ابن عمر استحب أن يقرأ على القبر بعد الدفن أول سورة البقرة و خاتمتها (رواه البيهقي)
Artinya : “Sesungguhnya Ibnu Umar mensunahkan untuk membaca awal dan akhir dari surat al-Baqarah diatas kubur setelah dimakamkan”. (HR. al Baihaqi)
Al-Hasan bin as-Shabâh az Za’farâny pernah bertanya kepada Imam Syafi’i tentang membaca bacaan dipemakaman. Beliau menjawab لا بأس به (tidak masalah). Demikian yang dilaporankan Ibn al-Qoyyim dan as-Suyûthy.
Syeikh Khalâl menceritakan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Orang Anshar apabila ada salah seorang dari mereka yang meninggal, mereka berkali-kali datang kekuburnya seraya membaca al-Quran disisinya”.
6. Seputar Dzikir Bersama – Sama
a. Pendapat Para Ulama Tentang Keutamaan Dzikir Bersama-Sama (Berjama’ah)
Dzikir merupakan bentuk ibadah yang dapat dilakukan dalam kondisi apapun. Dzikir yang dilakukan bersama-sama itu lebih utama, lebih membekas, serta lebih berpengaruh dalam hati melebihi keutamaan dan pengaruh dzikir yang dilakukan seorang diri. Imam Ibn ‘Âbidîn dalam Hasyiyâhnya (5/263) mengatakan :
وقد شبه الامام الغزالى ذكر الانسان وحده و ذكر الجماعة بأذان المنفرد و أذان الجماعة قال : فكما أن أصوات المؤذنين جماعة تقطع جرم الهواء أكثر من صوت المؤذن الواحد كذلك ذكر الجماعة على قلب واحد أكثر تأثيرا في رفع الحجب الكثيفة من ذكر شخص واحد)
Artinya : "Imam Al Ghazâli mengibaratkan berdzikir sendirian dan dzikir bersama-sama (jamaah) seperti adzannya seorang diri dan adzannya orang banyak. Beliau (Al Ghazâli) berkata, ‘ Adzan yang dikumandangkan beberapa orang itu bisa lebih menggema melebihi adzannya satu orang. Demikian pula dzikir yang dilakukan secara bersama-sama itu bisa lebih membekas (memberi pengaruh) pada hati seseorang melebihi dzikir seorang diri didalam menghilangkan hijab (penghalang).
Hal ini diperkuat oleh beberapa dalil, diantaranya dari Abi Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda :
مااجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم الا نزلت عليهم السكينة وغشِيَتْهُمْ الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه ابن ماجه)
Artinya : "Tidaklah berkumpul sekelompok orang didalam salah satu rumah Allah SWT sambil membaca Al-Quran bersama-sama kecuali Allah akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengerumuni dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang berada disisinya". (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits tersebut jelas bahwa perkumpulan yang dilakukan oleh sebuah kaum dengan membaca al-Quran adalah boleh dan dzikir yang dilakukan bersama-sama adalah ritual yang dianjurkan. Dengan memandang halaqoh tersebut adalah menghasilkan ibadah.
عن ابي سعيد الخضري قال رسول الله لا يقعد قوم يذكرون الله عز و جل الا حفتهم الملائكة وغشِيَتْهُمْ الرحمة وغشِيَتْهُمْ الرحمة و نزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم)
Artinya : "Tidaklah berkumpul sekelompok orang sambil bedzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah SWT melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang berada disisinya". (HR. Muslim)
عن أنس قال قال رسول الله إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا قالوا يارسول الله وما رياض الجنة ؟ قال حلَق الذكر (أخرجه أحمد والترمذي وذكره السيوطي في الجامع الصغير ورمز لصحته)
Artinya : "Dari Anas ra. ia berkata, Rasûlullah SAW bersabda : "Apabila kalian lewat di taman-taman surga, maka kerumunilah!, Para shahabat bertanya: “Apa taman-taman surga, Wahai Rasûlullah?, Beliau menjawab: ‘Halaqah (sekelompok orang yang duduk secara melingkar membentuk suatu majlis) dzikir". (HR. Ahmad, at-Tirmidzy dan dishahihkan oleh as-Suyûthy)
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa dzikir berjamaah termasuk ajaran agama yang sangat dianjurkan.
7. Tanggapan Atas Beberapa Dalil
a. Tanggapan Ayat : وأَنْ لَيْسَ لِِلإنسان إلا ماسَعَى
Dari pemahaman tekstual ayat terebut seakan-akan memberikan sebuah pemahaman “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain”.
Disisi lain tahlil dipercaya bisa memberikan kemanfaatan bagi mayat yang dituju baik dapat mengurangi dosa atau menambah amal baiknya. Hal ini jelas bertentangan dengan pemahaman tekstual pada ayat diatas. Bahkan menurut orang yang tidak mempercayai tahlil, kenyataan yang sudah mewabah dimasyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW : كل بدعة ضلالة
Artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Jawaban
Kalau kita pandang sekilas dari pemahaman tekstual ayat tersebut (An-Najm : 39), maka akan memberikan kesan bahwa orang yang telah meninggal dunia tidak akan mendapatkan balasan amal dari apa yang telah dihadiahkan oleh anggota keluarganya yang masih hidup. Ia hanya akan mendapatkan balasan amal sesuai dengan apa yang telah ia lakukan ketika masih hidup, atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.
Dari pemahaman yang sangat sederhana tersebut banyak sekali kelemahan jika ditinjau dari berbagai aspek :
1) Anak cucu yang mengikuti leluhurnya dengan keimanan akan diletakkan ditempat yang sama meski tidak memiliki bekal amal yang sama, sesuai dengan QS. Ath Thur ayat 21 yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. At-Thur : 21)
Dari pemahaman ayat ini berarti amal baik seorang ayah dapat bermanfaat kepada anak cucunya. Apakah kenyataan ini tidak dinamakan “Kebaikan seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain?”
Dan dalam QS. An Nisa’ ayat 11 yang artinya : “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”. (QS. Al-Nisa’ : 11)
2) Syekh Sulaiman bin Umar al-‘Ajili menjelaskan :
قال ابن عباس هذا منسوخ الحكم فى هذه الشريعة أي وإنما هو في صحف موسى وابراهيم عليهما السلام بقوله "وألحقنا بهم ذريتهم" فأُدْخِلَ الأبناء في الجنة بصلاح الأباء وقال عكرمة إن ذلك لقوم ابراهيم وموسى عليهما السلام وأما هذه الأمة فلهم ماسعوا وماسعى لهم غيرهم (الفتوحات الإلهية)
Artinya :“Ibnu Abbas ra. berkata bahwa hukum ayat tersebut telah dimansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. An-Najm : 39 telah dihapus dengan firman Allah SWT (QS. At-thur ; 21) . Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain”.
3) Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وأما قوله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ماسعى فهو مقيَّد بما إذا لم يَهَب العاملُ ثوابَ عملهِ لغيره ومعنى الأية أنه ليس ينفع الإنسان فى الآخرة إلا ماعمله فى الدنيا مالم يعمل له غيره عملا ويَهَبَه له فإنه ينفعه كذلك
Artinya :“Firman Allah SWT وان ليس للإنسان إلاماسعىperlu diberi batasan, yaitu ketika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat diakhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan didunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada orang yang meninggal. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut”.
Pendapat lain mengatakan :
أنَّ الآية إخبار عن شرع من قبلنا لقوله تعالى "لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا"(المائدة : 48) وقد دل شرعُنا على أن الإنسان له سعْيُه وماسعى له غيرُه كما دلت عليه الآيات المتقدمة (سورة الطور) والحديث المتقدم
Artinya :“Ayat tersebut menceritakan mengenai syari’at orang-orang terdahulu, sebagaimana Firman Allah SWT ‘Untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang’ (QS. Al-Maidah: 48). Sedangkan dalam syari’at kita, yakni syari’at Nabi Muhammad SAW, telah dijelaskan bahwa manusia dapat menerima amalnya sendiri atau amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaiman ditunjukkan dalam QS. Al-Thur: 21 serta hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di depan”.
4) Diantara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm 39, yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Wafa’ Ibnu ‘Aqil al-Baghdadi al-Hanbali sebagai berikut :
الجواب الجيِّدُ عندي أن يقال الإنسان بسعيه وحُسْنِ عُشْرَتِه اكْتَسَبَ الأصدقاءَ وأوْلَدَ الأولادَ ونكح الأزواجَ وأَسْدَى الخيرَ وتودَّدَ إلى الناس فتَرَحَّمُوا عليه وأهدَوْا له العباداتِ وكان ذلك أثرَ سعيِهِ
“Jawaban yang baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta mencintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya, kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”.
5) Menurut Abi Bakar al-Warrâq, ayat diatas (QS. Al-Najm : 39) tidak tepat kalau dibuat alasan untuk melarang tahlil dan menghadiahkan pahala, karena ungkapan al-Quran (الاماسعى) tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk seseorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahlil dan menghadiahkan pahala, karena menurut Abi Bakar al-Warrâq arti (الاماسعى) adalah (الامانوى) yang berarti :’kecuali dengan apa yang diniati’. Hal ini didukung sabda Nabi SAW:
يُبْعَثُ الناسُ يوم القيامة على نياتهم
Artinya : “Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya”
Pendapat ini lebih mengedepankan niat untuk mengarahkan ayat diatas dari pada diarahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks al-Quran dan al-Hadits.
6) Ayat وان ليس للإنسان الاماسعى menurut ar-Rabî’ bin Anas hanya diperuntukkan untuk orang kafir. Didunia ini mereka akan mendapatkan balasan atas amal baik mereka, sehingga diakhirat nanti sudah tidak memiliki kebaikan lagi. Sebagaimana riwayat bahwa ketika ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW memberikan pakaian beliau untuk dijadikan kain kafannya. Hal ini beliau SAW lakukan karena dulu ‘Abdullah bin Ubay pernah menghadiahkan pakaiannya kepada Sayyidina ‘Abbâs, paman Rasulullah SAW. Sehingga diakhirat nanti ‘Abdullah bin Ubay tidak memiliki kebaikan lagi. Lain halnya dengan orang muslim, ia akan mendapatkan pahala atas amalnya dan amal orang lain yang ditujukan untuknya.
b. Tanggapan Ayat
لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."(QS Al Baqarah : 286)
Ayat ini juga sering dijadikan sebagai dalil bahwa pahala amal saleh tidak bisa sampai pada orang meninggal. Untuk dapat mengetahui makna ayat-ayat al-Quran dengan benar, kita harus bertanya kepada ahlinya yaitu para mufassir (ahli tafsir). Banyak orang mengartikan al-Quran dengan pemikiranya sendiri tanpa dilandasi ilmu yang luas dan disiplin ilmu lain yang menunjang pada penafsiran. Sehingga Nabi Muhammad SAW bersabda :
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار )رواه الترمذي وأحمد(
Artinya : "Barang siapa berbicara tentang ayat-ayat yangt terdapat dalam al-qur’an tanpa dilandasi dengan ilmu, hendaknya dia mengambil tempatnya dineraka " (HR. Turmudzi da Ahmad)
Inilah yang harus kita pegang sebagai dasaragar kita tidak lansung memvonis tanggapan ata tafsiran orang yang belum tentu benar adanya dan belum diketahui kapasitas orang tersebut dalam keilmuannya.
Sebenarnya ayat di atas mengandung dua makna pokok :
1. Secara tekstual seseorang bisa mendapatkan kebaikan disebabkan amalnya. Hal ini hampir sama dengan ayat : وأن ليس للانسان الا ما سعى Dari pemahaman bahwa seseorang bisa mendapatkan pahala dari amal yang ia kerjakan, berarti tidak secara langsung bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan manfa’at dari pemberian pahala orang lain. Ada sebuah hadits yang diriwayatkanoleh imam Bukhori :
من سن سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها الى يوم القيامة و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها الى يوم القيامة (رواه البخاري)
Artinya :" Barang siapa membuat jalan yang baik, maka baginya pahala atas apa yang ditempuhnya ditambah pahala orang-orang yang mengerjakanya. Dan barang siapa membuat jalan yang buruk, maka baginya dosa atas jalan yang ditempuhnya ditambah dosa orang-orang yang mengerjakanya sampai hari kiamat". (HR. Bukhori)
Pemahaman ladaz سنة yang berarti jalanatau perbuatan adalah hal yang masih umum sehingga sesuatu hal yang baik atau buruk yang pernah ia laukan dan ada yang melakukannya maka hal ersebut akan menjadi tanggung jawab bagi pelaku yang telah melakukan perbuatan tersebut dan lainya. Dengan dasar ini berarti menepis anggapan bahwa amal baik seseorang tidak dapat ditambah ketiaka ia telah meninggal, tetapi amal seseorang akan bisa bertambah dengan sendirinya ataupun atas usaha orang lain yang pahalanya diperuntukkan kepadanya.
2. Seseorang akan disiksa karena kejahatan yang dikerjakannya. Bila difikir lebih dalam, sebenarnya ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan apakah pahala akan bisa sampai pada mayat atau tidak. Ayat ini hanya membicarakan bahwa seseorang akan menanggung siksa dari dosa yang ia lakukan. Namun bukan berarti menafikan ketika seseorang diringankan dari siksanya dengan lantaran ada sumbangan doa atau shadaqah dari orang lain, seperti yang dikutip dari Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abd al-Bârî al-Ahdal dalam Ifâdah at-Tulâbnya
c. Tanggapan Hadits
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya :“Ketika anak cucu Adam meninggal maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal ; shadaqoh jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfa’at, dan anak sholeh yang mendoakannya “
Sayyid ‘Alâwi ibn Abbâs al-Mâlikî al-Hasanî berpendapat: “Ketahuilah bahwa sebenarnya terputusnya amal sebab kematian termasuk hal yang maklum, karena ketika sudah meninggal, seseorang tidak beramal dan juga sudah tidak terkena beban hukum. Namun maksud dari hadits di atas adalah bahwa sebagian dari amal ada yang tidak terputus pahalanya, dalam arti tetap berbuah dan mengalir walaupun sudah meninggal dunia.”
Sebenarnya amal yang pahalanya masih mengalir setelah kematian tidak terbatas hanya tiga hal saja, terbukti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Abi Hurairah ra. :
قال رسول الله إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما نشره وولدا صالحا تركه ومصحفا ورثه ومسجدا بناه وبيتا لابن السبيل بناه ونهرا أجراه وصدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته (أخرجه ابن ماجه عن أنس)
Artinya : “Sesungguhnya termasuk dari amal dan kebaikan yang mengalir pahalanya setelah kematian adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah untuk para musafir yang ia dirikan, sungai yang ia alirkan, shadaqah yang ia keluarkan dari hartanya tatakala sehat maupun sakit. Semua itu tetap ia temui setelah ia meninggal.”(HR Ibn Mâjah)
8. Adzan Dan Iqâmat Ketika Mayat Di Makamkan
Adzan adalah suatu ajaran yang sangat istimewa. Menurut Imam Jalal ad-Din as-Suyuti adzan dan iqâmat adalah satu ibadah yang spesial hanya ntuk umat Nabi Muhammad SAW. Adzan sangat dianjurkan ketika seseorang melahirkan, dimana ketentuan ini sedah terlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengadzani Sayyid Hasan. Anjuran tersebut yakni dengan mengadzani telinga sebelah kanan dan mengiqomahi telinga kiri. Ketika kita mengalami kesusahan, marah, stres, depresi, mengalami gangguan jin atau syaitan, ketika terjadi peristiwa yang gawat seperti peperangan dan kebakaran kita sangat dianjurakan untuk melafadzkan adzan. Berarti adzan dan iqomah sangat bermanfaat dan berguna.
Di daerah kita, khususnya Jawa adzan juga dikumandangkan ketika penguburan mayat. Hal ini sebenanrnya telah berlangsung semenjak masa ulama salaf, sehingga memunculkan perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan adzan ketika mengubur jenazah tidak disunatkan karena tidak ditemukan hadits yang secara tegas menganjurkan hal ini. Ulama lain mengatakan sunat mengumandangkan Adzan dan Iqomah saat menguburkan jenazah karena diqiyâskan dengan seorang anak yang baru lahir.
Letak pengkiasannya adalah kalau kelahiran merupakan awal masuk ke dunia, sedangkan kematian merupakan keluar dari dunia. Inilah argumen sebagian ulama yang mengatakan disunahkan adzan dan iqomah saat pemakaman. Imam Sayyid ‘Alawi al Maliki mencoba menjadi penengah diantara kedua pendapat. Beliau mengatakan dalam kitab Majmû’ Fatawî Rosâ`il-nya (halaman 113) :
“Bentuk adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan setelah meletakkan mayit dalam kuburan. Perbuatan semacam ini tidak ada dalil khusus dari Rasulullah SAW. Tapi al-Ashbahy berkata, “ Dalam hal itu saya tidak pernah menjumpai sebuah khabar atau astar kecuali dalil yang diceritakan dari mutaakhirin.” Ia (al(Mereka mengatakan) mungkin perbuatan tersebut diqiyaskan pada kesunahan adzân dan iqâmah pada telinga anak yang baru lahir. Seakan-akan mereka ingin mengatakan bahwa kelahiran merupakan awal masuk ke dunia.Pendapat ini termasuk dla’îf (lemah) karena mengkhususkan adzân dan iqâmah tersebut merupakan tauqifi (perbuatan yang langsung diatur dengan Allah SWT). Namun (ada satu yang perlu diperhatikan) bahwa dzikir pada Allah SWT merupakan perbuatan yang sangat disenangi, kapan dan dimanapun, kecuali ketika qladâ`al-hâjah (buang hajat).
Dengan perkataan ini beliau sebenarnya ingin mengatakan bahwa adzan pada waktu mayit diletakkan didalam kuburan tidak dilarang. Tetapi ajaran tersebut disunahkan. Namun bukan karena diqiyaskan pada adzan ketika anak baru lahir, tapi karena perbuatan itu merupakan dzikir kepada Allah SWT.
9. Persoalan Seputar Pelaksanaan Tahlil
a. Istilah Tujuh Hari Dalam Tahlil
Asal usul kegiatan tersebut ialah mengikuti amal yan dicontohkan sahabat Nabi Muhammad SAW. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan dalam kitab al Hawi li al Fatawi :
حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاوس ان الموت يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام (الحاوي للفتوي 2 : 178)
Artinya : " Hasyim bin al Qosim menceritakankepada kami, ia berkata, al Asyja'i menceritakan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thowus berkata : Sesungguhnya orang yang meninggal dunia diuji tujuh hari dalam qubur mereka, maka kalangan salaf mensunahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia tujuh hari" (Al Hawi lil Fatawi, juz. 2, hal. 178)
b. Membaca Surat Al Ikhlas 100.000 kali
Hal yang mendasari pembacaan surat al Ikhlas 100.000 kali atau dikenal dengan syrawa kubra adalah hadits Nabi SAW :
قال رسول الله من تلا قل هو الله أحد مائة ألف مرة فقد اشترى تفسه من الله و نادى منادى من قبل الله تعالى في سمواته و في أرضه الا أن فلانا عتيق الله فمن له قبله تباعة فليأخذها من الله عز و جل (أخرجه البزار عن أنس بن مالك مرفوعا تحفة المريد على جوهرة التوحيد, ص 140)
Artinya : "Rosulullah SAW bersabda : Barang siapa membaca surat al Ikhlas 100.000 kali maka ia telah menebus dirinya dari Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan di buminya "Ingatlah sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api neraka. Maka barang siapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah azza wa jalla". (Diriwayatkan oleh al Bazzar dari Anas bin Malik, Tuhfah al Murid 'ala Jauharoh at Tauhid, hal.140)
Tahlil menurut bahasa berasal dari kata هلل يهللل تهليلا yang berarti membaca kalimat لا اله الا الله . Dengan pengertian demikian, sebenarnya acara tahlil tentu hanya membaca kalimah thoyyibah. Akan tetapi dalam prakteknya kita sering menjumpai bahwa ketika orang melaksanakan tahlil, maka dalam kegiatan tersebut tidak hanya mengucapkan لا اله الا الله , akan tetapi disertai oleh beberapa dzikir atau bacaan lain yang telah disusun oleh para ulama. Sebagaiman dalam kaidah bahasa arab ada istilah ذكر الجز إرادة الكل (menyebutkan sebagian tapi diharapkan semuanya). Istilah inilah yang menandakan bahwa tahlil tidak hanya membaca lafadz لا اله الا الله , akan tetapi bersama dzikir-dzikir yang lain. Dalam hal memperbanyak dzikir, Allah telah memerintahkan kita dalam firman-Nya :
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا (الأحزاب :41-42)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak mungkin. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan sore". (QS . Al Ahzâb : 41-42)
Dan firman Allah yang lain :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين (الأعراف : 205)
Artinya : "Berdzikirlah, sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri, perasaan takut dan tidak mengeraskan suara diwaktu pagi dan petang. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". (QS. Al A'râf : 205)
Nabi Muhammad SAW juga memerintahkannya, seperti dalam hadits :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله (مسند ابن حنبل : 8353 )
Artinya : "Dari Abi Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Perbaharuilah iman kalian !, para sahabat bertanya : Bagaimana caranya, Ya Rasulallah ?, Kemudian Rasulullah menjawab : Perbanyaklah membaca Lâ ilâh illâ Allâh“. ( Musnad ibn Hanbal : 8353 )
عن جابر ابن عبد الله يقول سمعت رسول الله يقول أفضل الذكر لا اله الا الله (رواه الترمذي)
Artinya : "Dari sahabat Jabir ra. ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Dzikir yang paling utama adalah la ilaaha illa allah ". (HR. Turmdzi)
عن أبى هريرة قال قال رسول الله كلمتان خفيفتان على اللسان ثقيلتان فى الميزان حبيبتان الى الرحمن سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : "Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasullullah SAW bersabda : ‘Dua kalimah yang ringan dilidah (mudah diucapkan), berat dalam timbangan (amal diakhirat), dicintai oleh Allah SWT yaitu : subhanallah wa bi hamdih subhanallahil 'adhim". (HR. Bukhâri Muslim)
2. Pengertian Secara Khusus
Sebagaimana pengertian tahlil secara bahasa, maka pengertian tahlil secara khususpun tidak jauh beda dari pengertian tahlil secara umum. Secara khusus tahlil adalah sebagaimana halnya yang kita jumpai dalam berbagai acara, yakni sesuatu yang dimulai dengan membaca al-Fatihah yang disertai tawasul kepada para Nabi, sahabat, ulama dengan diikuti beberapa bacaan seperti tasbih, tahmid, sholawat dan bacaan-bacaan yang diambilkan dari al-Qur'an serta hadits Nabi kemudian diakhiri dengan do'a.
Hal ini sebenarnya tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menyusun bacaan-bacaan tersebut. Penyusunan ini merupakan inisiatif dari para ulama yang memandang bahwa tahlil diatas diperbolehkan karena berisi dzikir-dzikir yang dianjurkan agama dan bertujuan menyumbangkan pahala kepada orang yang sudah meninggal supaya bermanfaat baginya dan merupakan hal yang dianjurkan dalam syari'at ketika kita mengamalkan tentang isi dan tujuannya.
3. Seputar Fida’an
Fida’ atau lebih kita kenal dengan fida'an adalah sebuah istilah dalam suatu ritual dengan membaca lafadz tahlil sebanyak 70.000 kali yang faidahnya adalah sebagai penebus dari api neraka.
Sumber ritual ini diambil dari Syekh Abu Muhammad Abdullah bin As'ad al-Yâfi'i bersumber dari Syekh Abi Zaid al-Qurthûbi dalam sebagian riwayatnya :
سمعت من بعض الأثر أن من قال لا اله الا الله سبعين ألف مرة كانت فداءه من النار فعملت على ذلك رجاء بركة الوعد أعمالا ادخرتها لنفسى وعملت منها لأهلى
Artinya : "Aku mendengar dari salah satu Atsar (haditsnya sahabat Nabi) bahwasanya barang siapa membaca لا اله الا الله sebanyak 70.000 kali, maka bacaan tersebut akan menjadi tebusan dari api neraka".
Keshohehan status atsar dalam riwayat ini masih dalam perselisihan para ulama. Sebagian memvonis riwayat tadi adalah dha'if, karena Imam Qurthubi tidak dikenal kepiawaianya dibidang hadits oleh ulama hadits, sebagaimana kita ketahui syarat dalam meriwayatkan hadits harus jelas status orang tersebut, maka hadits tersebut belum bisa untuk menjadi dalil kesunahan fidâ`an. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa atsar yang diriwayatkan oleh Imam Qurthûbi memang benar adanya. Termasuk ulama yang mempunyai pendapat semacam itu adalah al-‘Allâmah Ahmad bin Muhammad al-Wâyily dan al-Imâm Syaikhul Islam al Thanbadawi al Bakri didalam kitab fatawinya. Bahkan beliau memantapkan kita dengan menunjukkan sebuah referensi dengan ungkapan beliau, “ Lihatlah atsar tadi dikitab Al maqâshid al-Hasanah fi al-Ahâdits ad-Dâ`irah ‘alâ al-Alsinah milik Syaikh al-Imam al-Khafidh Syamsuddîn al-Sakhâwi.” Pendapat ini didukung oleh hadits :
مَنْ بَلَغَهُ عَنْ اللَّهِ شَيْءٌ لَهُ فِيهِ فَضِيلَةٌ فَأَخَذَهُ إيمَانًا بِهِ وَرَجَاءَ ثَوَابِهِ أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ (رَوَاهُ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ فِي جُزْئِهِ وَيَتَوَجَّهُ أَنَّ إسْنَادَهُ حَسَنٌ)
Artinya : "Barang siapa yang datang kepadanya dari Allah suatu amal yang mempunyai keutamaan, kemudian dia mengamalkan dengan mengimaninya dan mengharapkan limpahan pahalanya, maka Allah SWT akan memberikan apa yang dia harapkan walaupun sebenarnya suatu amal tadi sebenarnya tidak seperti itu”. (HR. Hasan bin ‘Arofah)
Keterangan yang lain adalah : _________
Artinya : "Ketahuilah, bahwa sebaiknya ketika datang kepadamu sesuatu yang didalamnya terdapat fadilah suatu amal, maka lakukanlah walaupun sekali saja, supaya kamu menjadi bagian darinya, dan tidak seharusnya meninggalkan secara mutlak akan tetapi datanglah dengan mudah karena sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang telah disepakatinya, 'ketika aku perintahkan kepadamu semua tentang sesuatu, maka kerjakanlah semampumu".
Dari pengertian diatas cukup jelas dan didukung dengan beberapa riwayat, maka keabsahan untuk melakukan fida'an tidak diragukan lagi, karena ada riwayat yang memperbolehknya. Menurut al-‘Alâmah Jamâl al-Qamâth, mengamalkan hal yang demikian lebih utama, karena tidak bertentangan dengan ushul syari’ah. Hal ini diamini oleh Sayyid Muhamad bin Ahmad bin ‘Abdul Bari al-Ahdali.
4. Hukum Membaca Tahlil/ Menghadiahkan Pahala Amal Pembacaan Al-Qur'an, Dzikir Dll.
Dikalangan umat islam membaca al-Qur'an, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan berbagai dzikir lainnya, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia adalah suatu ritual yang sudah biasa kita jumpai, dengan bacaan tersebut diharapkan dapat mengurangi siksa kubur dan menambah amal bagi simayit. Lantunan Yasîn dan surat-surat lain dalam al-Qur'an serta gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukanlah pemandangan yang asing ketika kita memasuki sebuah rumah duka atau pemakaman. Dengan khusyu', kerendahan hati dan prasangka baik kepada Allah SWT yang Maha Pemberi dan Maha Pengampun, para penta'ziah ataupun peziarah melantunkan ayat-ayat suci dan kalimat dzikir. Mereka yakin perbuatan tersebut akan bermanfaat bagi peziarah maupun yang diziarahi.
Pemandangan tersebut acap kali kita sandarkan bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan memintakan ampun kepada yang kita tuju. Hal ini juga menepis anggapan bahwa kita tidak dapat memintakan ampun atau menghadiahkan pahala kepada orang lain.
Dalam al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hasyr ayat 10 yang artinya :“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa : "Ya Allah, berilah ampunan pada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami.” (QS al-Hasyr : 10 )
Dalam ayat ini Allah SWT telah meridhai terhadap orang-orang yang memintakan ampun untuk dirinya dan kerabatnya yang sudah meninggal dunia. Dengan bersandar pada ayat tersebut berarti fenomena tahlil yang sering kita jumpai dimana didalamnya terdapat makna dan tujuan yang sama dengan kandungan ayat tersebut adalah boleh dan sangat dianjurkan oleh agama.
Dalam Sunan Abu Dawud telah disebutkan bahwa Amîrul Mukminîn Ustman bin Affân ra. berkata, ‘Dahulu, setelah jenazah dikebumikan, Rasulullah SAW berdiri di depan makam dan bersabda:
اِسْتغفِروا لأخيكم وَسَلُوْا له بالتَّثبًيت فإنه الآن يُسْأَل (رواه أبو داود)
Artinya: " Mintakanlah ampun bagi saudara kalian ini, dan berdo'alah agar ia diteguhkan (dalam menjawab pertanyaan Malaikat), sebab, saat ini ia sedang ditanya! "(HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut jelas bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk mendoakan dan memohonkan ampun tatkala jenazah telah dikubur. Jika doa tidak bermanfaat bagi mayit, tentu Rasulullah SAW tidak akan menganjurkanya.
Ayat al-Quran yang menerangkan adanya manfaat ketika mendo’akan kepada orang lain bagi dirinya dan orang yang dido’akan antara lain :
واستغفروا لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات (محمد : 19)
Artinya : “Dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin laki-laki dan permpuan.” (QS. Muhammad :19)
ربنا غفر لنا و لوالدي و للمؤمنين يوم يقوم الحساب (ابراهيم :41)
Artinya : ”Ya Tuhan kami ampunilah aku dan ibu bapakku dan orang-orang mukmin sekalian pada hari hisab.” (QS. Ibrahim : 41)
Dari dua ayat diatas jelas bahwa orang yang lain bisa mendapatkan pahala dari apa yang telah diminta oleh orang yang berdo’a dan menghadiahkan kepadanya.
Dari dalil hadits yang memperbolehkan tahlil diantaranya :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال سمعت رسول الله r يقول إذا صليتم على الميت فأخلِصوا له الدعاء ( سنن ترمذي رقم 2784)
Artinya :"Dari Abi Hurairoh ra. Dia berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ketika kalian semua mensholati mayit, maka ihklaslah dalam mendo'akannya ". (Sunan Turmudzi hal.2784)
Hadits diatas telah jelas menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan umat islam untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia dengan tulus ikhlas. Hal ini berarti doa yang dibaca dengan tulus ikhlas dapat bermanfaat bagi mayit yang dimaksud.
Adapun tentang hukum membaca Al-Quran dihadapan jenazah atau makam itu juga dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
إقرؤوا يس على موتاكم (رواه أبو داود و ابن ماجة)
Artinya: " Bacakanlah surat Yasîn kepada orang-orang yang meniggal dunia diantara kalian!” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
عن معقيل بن يسار أن رسول الله r قال : يس قلب القرآن لايقرؤها رجل يريد الله تبارك وتعالى والدار الآخرة إلا غفر له واقررها على موتاكم (سنن أحمد بن حنبل رقم 19415)
Artinya: "Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah SAW bersabda : Surat Yasin adalah jantung al-Quran, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridho'an) Allah Tabaraka Wata'ala dan negeri akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah Yasîn kepada orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian.” (Musnad Ahmad bin Hanbal hal.19415)
Hadits tersebut menepis anggapan bahwa yang harus dido’akan adalah orang yang belum mati atau sekarat. Menurut Syekh Muhibbuddin Ath-Thobari bahwa kata موتكم adalah orang yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya, adapun yang mengartikan “orang yang akan meninggal dunia” adalah tidak benar.
Sayyid Zainal Abidin al-Alawi Al-Husaini dalam kitab al-Ajwibah al-Ghâliyah fi 'Aqidah Firqah an-Najiyah menuliskan :
"Para ulama Muhaqqiqin menyebutkan bahwa hadits di atas (tentang pembacaan surat Yasin kepada yang telah meninggal dunia) berlaku secara umum, baik untuk mereka yang sedang sekarat, maupun bagi mereka yang telah meninggal dunia sebagaimana tampak jelas dalam teks hadits tersebut".
Dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ إحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنْ الْأَجْرِ بِعَدَدِ الْأَمْوَاتِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
Artinya : ”Dari Sayyidina Ali ra. sesungguhnya Nabi SAW bersabda,’Barang siapa lewat di kuburan dan membaca قل هو الله أحد (surat al-Ikhlâsh) sebelas kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang mati, maka ia akan diberi pahala sesuai jumlah orang yang meninggal”. (HR. ad-Dâruquthny)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أن النبي قَالَ إن الله ليرفع الدرجةَ للعبد الصالح في الجنة فيقول ياربِّ أنَّى هَذِهِ ؟ فَيَقُولُ باسْتِغْفَارِ وَلَدِك لكَ (أخرجه أحمد وقال ابن كثير في تفسيره إسناده صحيح)
Artinya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Allah meninggikan derajat seorang hamba yang shalih disurga’. Ia bertanya, ‘Wahai Tuhanku, Bagaimana aku mendapatkan ini? Allah menjawab,’ Dengan permohonan ampun dari anakmu untukmu”. (HR Ahmad)
Dari dalil diatas bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi SAW menganjurkan kita untuk membaca al-Quran dan dzikir-dzikir lainya kepada orang yang telah meninggal serta pahalanya bisa kita hadiahkan pada orang yang telah meninggal.
Imam Abu Hanifah menyatakan, " Barang siapa mengatakan pahalanya tidak sampai kepada ahli mayit, maka dia berarti merusak kesepakatan para ulama "
Imam Ibnu Hajar juga berpendapat, " Madzhab ahli sunnah itu mempersilahkan menjadikan pahala amalnya dan sholatnya diperuntukkan kepada orang yang sudah meninggal dunia dan pahalanya akan sampai kepadanya"
Imam al-Qurtubi juga mengatakan, " Ulama sepakat mengenai sampainya pahala sedekah kepada arang yang sudah meninggal dunia. Begitu juga mengenai bacaan al-Quran, do'a dan istighfar dan itu semua termasuk kategori sadaqah ".
Imam an-Nawawi dalam kitab Adzkarnya juga mengatakan :
" أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصِلُهم ثوابُهم "
"Ulama sepakat bahwa do'a yang diperuntukkan pada orang yang wafat akan memberikan manfaat serta akan sampai pahalanya"
5. Membaca Al-Quran Dan Tahlil Di Pemakaman
Membaca al-Quran atau lainnya dipemakaman hampir sama dengan membaca al-Quran dirumah dengan tujuan pahalanya dihadiahkan pada orang yang sudah meninggal. Hanya saja kalau membaca dipemakaman itu mempunyai nilai tambah tersendiri, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh sayyidah ‘Aisyah rha. bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :
ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عنده إلا استأنس به وردّ عليه حتى يقوم (رواه الديلمي )
Artinya : “Tidaklah seseorang yang berziarah kemakam saudaranya dan duduk disampingnya, melainkan saudaranya tersebut merasa senang dengan kehadirannya, dan saudaranya juga menjawab salam sehingga seseorang tadi berdiri”. (HR. ad Dailami)
Al-Hâfidh Jalâluddin as-Suyûthi berkata, ”Al-Baihaqi dan at-Thabrâny meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda :
إذا مات أحدكم فلا تحبسوه وأِسْرِعوا به إلى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة الكتاب وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره ( رواه الطبراني في الكبير ) ولفظ البيهقي "فاتحة البقرة وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره
Artinya :”Ketika salah satu dari kalian meninggal, maka jangan lama-lama dirumah, segeralah membawanya kepemakaman dan bacakanlah disisi kepalanya surat al-fatihah dan disisi kedua kakinya akhir surah al-baqarah” (Dalam riwayat al-Baihaqy,”dengan awal al-Baqarah) dan disisi kedua kakinya dengan akhir surat al-Baqarah ketika dikuburnya.”
Sedang Ibnu Umar sendiri pernah berkata :
ان ابن عمر استحب أن يقرأ على القبر بعد الدفن أول سورة البقرة و خاتمتها (رواه البيهقي)
Artinya : “Sesungguhnya Ibnu Umar mensunahkan untuk membaca awal dan akhir dari surat al-Baqarah diatas kubur setelah dimakamkan”. (HR. al Baihaqi)
Al-Hasan bin as-Shabâh az Za’farâny pernah bertanya kepada Imam Syafi’i tentang membaca bacaan dipemakaman. Beliau menjawab لا بأس به (tidak masalah). Demikian yang dilaporankan Ibn al-Qoyyim dan as-Suyûthy.
Syeikh Khalâl menceritakan dari as-Sya’bi, ia berkata, “Orang Anshar apabila ada salah seorang dari mereka yang meninggal, mereka berkali-kali datang kekuburnya seraya membaca al-Quran disisinya”.
6. Seputar Dzikir Bersama – Sama
a. Pendapat Para Ulama Tentang Keutamaan Dzikir Bersama-Sama (Berjama’ah)
Dzikir merupakan bentuk ibadah yang dapat dilakukan dalam kondisi apapun. Dzikir yang dilakukan bersama-sama itu lebih utama, lebih membekas, serta lebih berpengaruh dalam hati melebihi keutamaan dan pengaruh dzikir yang dilakukan seorang diri. Imam Ibn ‘Âbidîn dalam Hasyiyâhnya (5/263) mengatakan :
وقد شبه الامام الغزالى ذكر الانسان وحده و ذكر الجماعة بأذان المنفرد و أذان الجماعة قال : فكما أن أصوات المؤذنين جماعة تقطع جرم الهواء أكثر من صوت المؤذن الواحد كذلك ذكر الجماعة على قلب واحد أكثر تأثيرا في رفع الحجب الكثيفة من ذكر شخص واحد)
Artinya : "Imam Al Ghazâli mengibaratkan berdzikir sendirian dan dzikir bersama-sama (jamaah) seperti adzannya seorang diri dan adzannya orang banyak. Beliau (Al Ghazâli) berkata, ‘ Adzan yang dikumandangkan beberapa orang itu bisa lebih menggema melebihi adzannya satu orang. Demikian pula dzikir yang dilakukan secara bersama-sama itu bisa lebih membekas (memberi pengaruh) pada hati seseorang melebihi dzikir seorang diri didalam menghilangkan hijab (penghalang).
Hal ini diperkuat oleh beberapa dalil, diantaranya dari Abi Hurairah, Nabi SAW pernah bersabda :
مااجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم الا نزلت عليهم السكينة وغشِيَتْهُمْ الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه ابن ماجه)
Artinya : "Tidaklah berkumpul sekelompok orang didalam salah satu rumah Allah SWT sambil membaca Al-Quran bersama-sama kecuali Allah akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengerumuni dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang berada disisinya". (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits tersebut jelas bahwa perkumpulan yang dilakukan oleh sebuah kaum dengan membaca al-Quran adalah boleh dan dzikir yang dilakukan bersama-sama adalah ritual yang dianjurkan. Dengan memandang halaqoh tersebut adalah menghasilkan ibadah.
عن ابي سعيد الخضري قال رسول الله لا يقعد قوم يذكرون الله عز و جل الا حفتهم الملائكة وغشِيَتْهُمْ الرحمة وغشِيَتْهُمْ الرحمة و نزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم)
Artinya : "Tidaklah berkumpul sekelompok orang sambil bedzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah SWT melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan Allah menyebut mereka dihadapan para malaikat yang berada disisinya". (HR. Muslim)
عن أنس قال قال رسول الله إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا قالوا يارسول الله وما رياض الجنة ؟ قال حلَق الذكر (أخرجه أحمد والترمذي وذكره السيوطي في الجامع الصغير ورمز لصحته)
Artinya : "Dari Anas ra. ia berkata, Rasûlullah SAW bersabda : "Apabila kalian lewat di taman-taman surga, maka kerumunilah!, Para shahabat bertanya: “Apa taman-taman surga, Wahai Rasûlullah?, Beliau menjawab: ‘Halaqah (sekelompok orang yang duduk secara melingkar membentuk suatu majlis) dzikir". (HR. Ahmad, at-Tirmidzy dan dishahihkan oleh as-Suyûthy)
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa dzikir berjamaah termasuk ajaran agama yang sangat dianjurkan.
7. Tanggapan Atas Beberapa Dalil
a. Tanggapan Ayat : وأَنْ لَيْسَ لِِلإنسان إلا ماسَعَى
Dari pemahaman tekstual ayat terebut seakan-akan memberikan sebuah pemahaman “Bahwa manusia hanya bisa mendapatkan pahala amal baik yang telah ia lakukan, dari pribadinya masing-masing, dan amal baik seseorang tidak akan bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain”.
Disisi lain tahlil dipercaya bisa memberikan kemanfaatan bagi mayat yang dituju baik dapat mengurangi dosa atau menambah amal baiknya. Hal ini jelas bertentangan dengan pemahaman tekstual pada ayat diatas. Bahkan menurut orang yang tidak mempercayai tahlil, kenyataan yang sudah mewabah dimasyarakat saat ini, telah dianggap satu perkara yang dilarang oleh Nabi SAW, dengan dikategorikan sebagai bid’ah dlolalah. Sesuai dengan hadits Nabi SAW : كل بدعة ضلالة
Artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Jawaban
Kalau kita pandang sekilas dari pemahaman tekstual ayat tersebut (An-Najm : 39), maka akan memberikan kesan bahwa orang yang telah meninggal dunia tidak akan mendapatkan balasan amal dari apa yang telah dihadiahkan oleh anggota keluarganya yang masih hidup. Ia hanya akan mendapatkan balasan amal sesuai dengan apa yang telah ia lakukan ketika masih hidup, atau juga bisa memberikan kesan perbuatan baik seseorang tidak akan pernah bisa memberikan kemanfaatan pada orang lain.
Dari pemahaman yang sangat sederhana tersebut banyak sekali kelemahan jika ditinjau dari berbagai aspek :
1) Anak cucu yang mengikuti leluhurnya dengan keimanan akan diletakkan ditempat yang sama meski tidak memiliki bekal amal yang sama, sesuai dengan QS. Ath Thur ayat 21 yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. At-Thur : 21)
Dari pemahaman ayat ini berarti amal baik seorang ayah dapat bermanfaat kepada anak cucunya. Apakah kenyataan ini tidak dinamakan “Kebaikan seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain?”
Dan dalam QS. An Nisa’ ayat 11 yang artinya : “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”. (QS. Al-Nisa’ : 11)
2) Syekh Sulaiman bin Umar al-‘Ajili menjelaskan :
قال ابن عباس هذا منسوخ الحكم فى هذه الشريعة أي وإنما هو في صحف موسى وابراهيم عليهما السلام بقوله "وألحقنا بهم ذريتهم" فأُدْخِلَ الأبناء في الجنة بصلاح الأباء وقال عكرمة إن ذلك لقوم ابراهيم وموسى عليهما السلام وأما هذه الأمة فلهم ماسعوا وماسعى لهم غيرهم (الفتوحات الإلهية)
Artinya :“Ibnu Abbas ra. berkata bahwa hukum ayat tersebut telah dimansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. An-Najm : 39 telah dihapus dengan firman Allah SWT (QS. At-thur ; 21) . Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain”.
3) Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وأما قوله تعالى وأن ليس للإنسان إلا ماسعى فهو مقيَّد بما إذا لم يَهَب العاملُ ثوابَ عملهِ لغيره ومعنى الأية أنه ليس ينفع الإنسان فى الآخرة إلا ماعمله فى الدنيا مالم يعمل له غيره عملا ويَهَبَه له فإنه ينفعه كذلك
Artinya :“Firman Allah SWT وان ليس للإنسان إلاماسعىperlu diberi batasan, yaitu ketika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat diakhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan didunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada orang yang meninggal. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut”.
Pendapat lain mengatakan :
أنَّ الآية إخبار عن شرع من قبلنا لقوله تعالى "لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا"(المائدة : 48) وقد دل شرعُنا على أن الإنسان له سعْيُه وماسعى له غيرُه كما دلت عليه الآيات المتقدمة (سورة الطور) والحديث المتقدم
Artinya :“Ayat tersebut menceritakan mengenai syari’at orang-orang terdahulu, sebagaimana Firman Allah SWT ‘Untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang’ (QS. Al-Maidah: 48). Sedangkan dalam syari’at kita, yakni syari’at Nabi Muhammad SAW, telah dijelaskan bahwa manusia dapat menerima amalnya sendiri atau amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaiman ditunjukkan dalam QS. Al-Thur: 21 serta hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim di depan”.
4) Diantara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm 39, yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Wafa’ Ibnu ‘Aqil al-Baghdadi al-Hanbali sebagai berikut :
الجواب الجيِّدُ عندي أن يقال الإنسان بسعيه وحُسْنِ عُشْرَتِه اكْتَسَبَ الأصدقاءَ وأوْلَدَ الأولادَ ونكح الأزواجَ وأَسْدَى الخيرَ وتودَّدَ إلى الناس فتَرَحَّمُوا عليه وأهدَوْا له العباداتِ وكان ذلك أثرَ سعيِهِ
“Jawaban yang baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta mencintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya, kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”.
5) Menurut Abi Bakar al-Warrâq, ayat diatas (QS. Al-Najm : 39) tidak tepat kalau dibuat alasan untuk melarang tahlil dan menghadiahkan pahala, karena ungkapan al-Quran (الاماسعى) tidak berhubungan sama sekali dengan amal baik atau buruk seseorang, apalagi berhubungan dengan dilarangnya tahlil dan menghadiahkan pahala, karena menurut Abi Bakar al-Warrâq arti (الاماسعى) adalah (الامانوى) yang berarti :’kecuali dengan apa yang diniati’. Hal ini didukung sabda Nabi SAW:
يُبْعَثُ الناسُ يوم القيامة على نياتهم
Artinya : “Manusia dibangkitkan pada hari qiyamat sesuai dengan niatnya”
Pendapat ini lebih mengedepankan niat untuk mengarahkan ayat diatas dari pada diarahkan ke-fi’lu (pekerjaan) yang jelas-jelas bertentangan dengan banyak sekali teks al-Quran dan al-Hadits.
6) Ayat وان ليس للإنسان الاماسعى menurut ar-Rabî’ bin Anas hanya diperuntukkan untuk orang kafir. Didunia ini mereka akan mendapatkan balasan atas amal baik mereka, sehingga diakhirat nanti sudah tidak memiliki kebaikan lagi. Sebagaimana riwayat bahwa ketika ‘Abdullah bin Ubay, pemimpin orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW memberikan pakaian beliau untuk dijadikan kain kafannya. Hal ini beliau SAW lakukan karena dulu ‘Abdullah bin Ubay pernah menghadiahkan pakaiannya kepada Sayyidina ‘Abbâs, paman Rasulullah SAW. Sehingga diakhirat nanti ‘Abdullah bin Ubay tidak memiliki kebaikan lagi. Lain halnya dengan orang muslim, ia akan mendapatkan pahala atas amalnya dan amal orang lain yang ditujukan untuknya.
b. Tanggapan Ayat
لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."(QS Al Baqarah : 286)
Ayat ini juga sering dijadikan sebagai dalil bahwa pahala amal saleh tidak bisa sampai pada orang meninggal. Untuk dapat mengetahui makna ayat-ayat al-Quran dengan benar, kita harus bertanya kepada ahlinya yaitu para mufassir (ahli tafsir). Banyak orang mengartikan al-Quran dengan pemikiranya sendiri tanpa dilandasi ilmu yang luas dan disiplin ilmu lain yang menunjang pada penafsiran. Sehingga Nabi Muhammad SAW bersabda :
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار )رواه الترمذي وأحمد(
Artinya : "Barang siapa berbicara tentang ayat-ayat yangt terdapat dalam al-qur’an tanpa dilandasi dengan ilmu, hendaknya dia mengambil tempatnya dineraka " (HR. Turmudzi da Ahmad)
Inilah yang harus kita pegang sebagai dasaragar kita tidak lansung memvonis tanggapan ata tafsiran orang yang belum tentu benar adanya dan belum diketahui kapasitas orang tersebut dalam keilmuannya.
Sebenarnya ayat di atas mengandung dua makna pokok :
1. Secara tekstual seseorang bisa mendapatkan kebaikan disebabkan amalnya. Hal ini hampir sama dengan ayat : وأن ليس للانسان الا ما سعى Dari pemahaman bahwa seseorang bisa mendapatkan pahala dari amal yang ia kerjakan, berarti tidak secara langsung bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan manfa’at dari pemberian pahala orang lain. Ada sebuah hadits yang diriwayatkanoleh imam Bukhori :
من سن سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها الى يوم القيامة و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها الى يوم القيامة (رواه البخاري)
Artinya :" Barang siapa membuat jalan yang baik, maka baginya pahala atas apa yang ditempuhnya ditambah pahala orang-orang yang mengerjakanya. Dan barang siapa membuat jalan yang buruk, maka baginya dosa atas jalan yang ditempuhnya ditambah dosa orang-orang yang mengerjakanya sampai hari kiamat". (HR. Bukhori)
Pemahaman ladaz سنة yang berarti jalanatau perbuatan adalah hal yang masih umum sehingga sesuatu hal yang baik atau buruk yang pernah ia laukan dan ada yang melakukannya maka hal ersebut akan menjadi tanggung jawab bagi pelaku yang telah melakukan perbuatan tersebut dan lainya. Dengan dasar ini berarti menepis anggapan bahwa amal baik seseorang tidak dapat ditambah ketiaka ia telah meninggal, tetapi amal seseorang akan bisa bertambah dengan sendirinya ataupun atas usaha orang lain yang pahalanya diperuntukkan kepadanya.
2. Seseorang akan disiksa karena kejahatan yang dikerjakannya. Bila difikir lebih dalam, sebenarnya ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan apakah pahala akan bisa sampai pada mayat atau tidak. Ayat ini hanya membicarakan bahwa seseorang akan menanggung siksa dari dosa yang ia lakukan. Namun bukan berarti menafikan ketika seseorang diringankan dari siksanya dengan lantaran ada sumbangan doa atau shadaqah dari orang lain, seperti yang dikutip dari Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Abd al-Bârî al-Ahdal dalam Ifâdah at-Tulâbnya
c. Tanggapan Hadits
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya :“Ketika anak cucu Adam meninggal maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal ; shadaqoh jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfa’at, dan anak sholeh yang mendoakannya “
Sayyid ‘Alâwi ibn Abbâs al-Mâlikî al-Hasanî berpendapat: “Ketahuilah bahwa sebenarnya terputusnya amal sebab kematian termasuk hal yang maklum, karena ketika sudah meninggal, seseorang tidak beramal dan juga sudah tidak terkena beban hukum. Namun maksud dari hadits di atas adalah bahwa sebagian dari amal ada yang tidak terputus pahalanya, dalam arti tetap berbuah dan mengalir walaupun sudah meninggal dunia.”
Sebenarnya amal yang pahalanya masih mengalir setelah kematian tidak terbatas hanya tiga hal saja, terbukti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Abi Hurairah ra. :
قال رسول الله إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته علما نشره وولدا صالحا تركه ومصحفا ورثه ومسجدا بناه وبيتا لابن السبيل بناه ونهرا أجراه وصدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته (أخرجه ابن ماجه عن أنس)
Artinya : “Sesungguhnya termasuk dari amal dan kebaikan yang mengalir pahalanya setelah kematian adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah untuk para musafir yang ia dirikan, sungai yang ia alirkan, shadaqah yang ia keluarkan dari hartanya tatakala sehat maupun sakit. Semua itu tetap ia temui setelah ia meninggal.”(HR Ibn Mâjah)
8. Adzan Dan Iqâmat Ketika Mayat Di Makamkan
Adzan adalah suatu ajaran yang sangat istimewa. Menurut Imam Jalal ad-Din as-Suyuti adzan dan iqâmat adalah satu ibadah yang spesial hanya ntuk umat Nabi Muhammad SAW. Adzan sangat dianjurkan ketika seseorang melahirkan, dimana ketentuan ini sedah terlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengadzani Sayyid Hasan. Anjuran tersebut yakni dengan mengadzani telinga sebelah kanan dan mengiqomahi telinga kiri. Ketika kita mengalami kesusahan, marah, stres, depresi, mengalami gangguan jin atau syaitan, ketika terjadi peristiwa yang gawat seperti peperangan dan kebakaran kita sangat dianjurakan untuk melafadzkan adzan. Berarti adzan dan iqomah sangat bermanfaat dan berguna.
Di daerah kita, khususnya Jawa adzan juga dikumandangkan ketika penguburan mayat. Hal ini sebenanrnya telah berlangsung semenjak masa ulama salaf, sehingga memunculkan perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan adzan ketika mengubur jenazah tidak disunatkan karena tidak ditemukan hadits yang secara tegas menganjurkan hal ini. Ulama lain mengatakan sunat mengumandangkan Adzan dan Iqomah saat menguburkan jenazah karena diqiyâskan dengan seorang anak yang baru lahir.
Letak pengkiasannya adalah kalau kelahiran merupakan awal masuk ke dunia, sedangkan kematian merupakan keluar dari dunia. Inilah argumen sebagian ulama yang mengatakan disunahkan adzan dan iqomah saat pemakaman. Imam Sayyid ‘Alawi al Maliki mencoba menjadi penengah diantara kedua pendapat. Beliau mengatakan dalam kitab Majmû’ Fatawî Rosâ`il-nya (halaman 113) :
“Bentuk adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan setelah meletakkan mayit dalam kuburan. Perbuatan semacam ini tidak ada dalil khusus dari Rasulullah SAW. Tapi al-Ashbahy berkata, “ Dalam hal itu saya tidak pernah menjumpai sebuah khabar atau astar kecuali dalil yang diceritakan dari mutaakhirin.” Ia (al(Mereka mengatakan) mungkin perbuatan tersebut diqiyaskan pada kesunahan adzân dan iqâmah pada telinga anak yang baru lahir. Seakan-akan mereka ingin mengatakan bahwa kelahiran merupakan awal masuk ke dunia.Pendapat ini termasuk dla’îf (lemah) karena mengkhususkan adzân dan iqâmah tersebut merupakan tauqifi (perbuatan yang langsung diatur dengan Allah SWT). Namun (ada satu yang perlu diperhatikan) bahwa dzikir pada Allah SWT merupakan perbuatan yang sangat disenangi, kapan dan dimanapun, kecuali ketika qladâ`al-hâjah (buang hajat).
Dengan perkataan ini beliau sebenarnya ingin mengatakan bahwa adzan pada waktu mayit diletakkan didalam kuburan tidak dilarang. Tetapi ajaran tersebut disunahkan. Namun bukan karena diqiyaskan pada adzan ketika anak baru lahir, tapi karena perbuatan itu merupakan dzikir kepada Allah SWT.
9. Persoalan Seputar Pelaksanaan Tahlil
a. Istilah Tujuh Hari Dalam Tahlil
Asal usul kegiatan tersebut ialah mengikuti amal yan dicontohkan sahabat Nabi Muhammad SAW. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan dalam kitab al Hawi li al Fatawi :
حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاوس ان الموت يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام (الحاوي للفتوي 2 : 178)
Artinya : " Hasyim bin al Qosim menceritakankepada kami, ia berkata, al Asyja'i menceritakan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thowus berkata : Sesungguhnya orang yang meninggal dunia diuji tujuh hari dalam qubur mereka, maka kalangan salaf mensunahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia tujuh hari" (Al Hawi lil Fatawi, juz. 2, hal. 178)
b. Membaca Surat Al Ikhlas 100.000 kali
Hal yang mendasari pembacaan surat al Ikhlas 100.000 kali atau dikenal dengan syrawa kubra adalah hadits Nabi SAW :
قال رسول الله من تلا قل هو الله أحد مائة ألف مرة فقد اشترى تفسه من الله و نادى منادى من قبل الله تعالى في سمواته و في أرضه الا أن فلانا عتيق الله فمن له قبله تباعة فليأخذها من الله عز و جل (أخرجه البزار عن أنس بن مالك مرفوعا تحفة المريد على جوهرة التوحيد, ص 140)
Artinya : "Rosulullah SAW bersabda : Barang siapa membaca surat al Ikhlas 100.000 kali maka ia telah menebus dirinya dari Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan di buminya "Ingatlah sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api neraka. Maka barang siapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah azza wa jalla". (Diriwayatkan oleh al Bazzar dari Anas bin Malik, Tuhfah al Murid 'ala Jauharoh at Tauhid, hal.140)
NUZULUL QUR'AN
A. Al-Quran dan Sejarah Turunya
Al-Quran secara bahasa berasal dari lafadz قرأ yang berarti bacaan. Secara istilah al-Quran adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril as, yang membacanya merupakan sebuah ibadah, sebagai petunjuk yang jelas bagi manusia. Al-Quran merupakan mu'jizat paling istimewa yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW diantara mu'jizat-mu'jiat yang lain. Al-Quran merupakan sumber utama dalam menggali hukum-hukum islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
و نزلنا عليك الكتب تبيانا لكل شئ (النحل : 16)
Artinya : "Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu". (QS. An Nahl : 16)
Al-Qur'ân diturunkan dalam tiga tahap :
1. Al-Qur'ân diturunkan secara sekaligus ke Lauh al-Mahfûdh dengan cara yang hanya diketahui Allah dan orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dalam proses awal ini al-Quran diturunkan dalam satu kumpulan (جملة واحدة). Sedangkan hikmahnya adalah agar umat manusia mau beriman, meyakini akan wujudnya Lauh al-Mahfûdz sebagai bukti kekuasaan Allah dan tetap berbaik sangka atas segala kebijakan dari Allah SWT (Turunnya al-Quran tidak langsung ke Nabi SAW melainkan ke Lauh Mahfûdz terlebih dahulu). Dalil turunnya al-Qurân tahap pertama ini adalah QS. Al Buruj ayat 21-22 yang artinya : "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh".(QS. al-Burûj :21-22)
2. Al-Quran diturunkan dari Lauh al-Mahfûdh ke langit dunia (bait al-‘izzah). Mengenai hal ini ada tiga pendapat :
a. Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada waktu malam qadar (lailatul qadar), kemudian diturunkan secara bertahap dalam waktu 20 atau 23 atau 25 tahun. Perbedaan jumlah ini karena adanya perbedaan mengenai berapa lama Nabi tinggal di Mekkah setelah kenabian.
b. Al-Quran diturunkan ke langit dunia selama 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun. Ada yang berpendapat selama 23 kali malam qadar dalam 23 tahun, ada yang mengatakan selama 25 kali pada malam qadar dalam 25 tahun. Kemudian al-Quran diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah SAW disepanjang tahun.
c. Al-Quran pertama kali diturunkan pada malam qadar. Kemudian setelah itu turun secara bertahap dalam waktu 23 tahun. Kemudian diturunkan secara bertahap dalam berbagai waktu.
Mayoritas ulama setuju dengan pendapat pertama, karena lebih masyhur dan terbukti paling valid. Hal ini didukung oleh beberapa dalil diantaranya QS. ad-Dukhân : 1-3 yang artinya : "1.Haa miim. 2. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan 3. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan". (QS. ad-Dukhân : 1-3)
Dan QS. Al Qodr ayat 1 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan". (QS. al-Qadr :1 )
Juga QS. al-Baqarah ayat 185 yang artinya : "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)". (QS al-Baqarah : 185)
Jelaslah bagi kita bahwa al-Quran diturunkan pada suatu malam yang penuh berkah, sebagaimana dalam al-Quran surat ad Dukhon. Malam itu disebut dengan Lailah al-Qadr sebagaimana dalam surat al-Qadr ayat 1 dan terletak pada bulan ramadhan seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah. Sebagaimana dimaklumi, al-Quran diturunkan kepada Nabi SAW secara bertahap semenjak beliau diangkat menjadi Nabi sampai wafat. Karena itu, yang dimaksud ketiga ayat di atas tentulah bukan turunnya al-Quran kepada Nabi, namun turunnya al-Quran ke langit dunia sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits :
عن ابن عباس انه قال فصّل القرآن من الذكر فوضع في بيت العزة من السماء الدنيا فجعل الجبريل ينزل به على النبي ,(رواه الحاكم )
Artinya : "Ibnu Abbas berkata : al-Quran dipisahkan dari ad-dzikr kemudian diletakkan di baitil ‘izzah di langit dunia, kemudian jibril membawa (menurunkan) kepada Nabi SAW". (HR. Hakim)
عن ابن عباس قال أنزل القرآن في ليلة القدر في شهر رمضان إلى سماء الدنيا ليلة واحدة ثم أنزل نجوماً (أخرجه الطبراني و إسناده لا بأس به)
Artinya : "Dari ibn ‘Abbâs ia berkata, “Al-Quran diturunkan di malam qadr pada bulan Ramadlan ke langit dunia dalam satu malam kemudian diturunkan secara bertahap". (HR. at-Thabrâny)
عن ابن عباس قال أنزل القرآن جملة واحدة حتى وضع في بيت العزة في السماء الدنيا ونزله جبريل على محمد بجواب كلام العباد وأعمالهم (أخرجه الطبراني والبزار)
Artinya : "Dari ibn ‘Abbâs ia berkata, “Al-Quran diturunkan secara sekaligus sehingga diletakkan di bait al-’izzah di langit dunia. Dan Jibril as. menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW dalam menjawab pertanyaan para hamba dan perbuatan mereka". (HR. at-Thabrâny dan al-Bazzâr)
Hikmah al-Quran diturunkan secara sekaligus ke langit dunia adalah mengagungkan nilai al-Quran dan Nabi yang diberi wahyu sekaligus sebagai pengumuman kepada seluruh penduduk langit bahwa ini adalah kitab yang terakhir diturunkan.
3. Al-Quran diturunkan kepada Nabi secara bertahap dari langit dunia melalui Malaikat Jibril mulai tanggal 17 Ramadlan (menurut sebagian pendapat). Ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah QS. As Syu’ara’ ayat 193-195 yang artinya: "Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa arab yang jelas". (QS. as-Syu’arâ` : 193-195)
B. Alasan Dan Hikmah Al-Quran Diturunkan Secara Bertahap
Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari penurunan al-Quran secara bertahap, diantaranya:
1. Lebih menancap didalam hati beliau Nabi SAW dan menghilangkan keraguan akan kebenaran al-Quran, karena berangsur-angsurnya sesuatu yang sesuai dengan kenyataan membuat hati semakin yakin akan kebenaran hal itu. Ini sebagaimana yang disebut dalam firman Allah QS. Al Furqon ayat 32 yang artinya: "Berkatalah orng-orang kafir, Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja, demikinlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakan secara tartil (teratur dan benar)". (QS. al-Furqân :32)
2. Mempermudah menghapal al-Quran bagi orang-orang muslimin, memahaminya dan merenungi makna al-Quran. Karena sebagaimana diketahui, mayoritas orang Arab di masa itu ummy (tidak bisa tulis baca) sebagaimana dalam firman Allah QS. Al Jum’ah ayat 2 yang artinya : "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata". (QS. Al Jumu’ah : 2)
3. Sebagai tanda bahwa al-Quran benar-benar diturunkan dari Allah, sebagaimana dalam firman-Nya QS. Al Hud ayat 1 yang artinya : "Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu". (QS. Hûd : 1)
4. Menantang dan melemahkan para penentang al-Quran, dengan menjawab berbagai pertanyaan dari mereka. Bahkan menantang mereka untuk membuat suatu yang serupa dengan al-Quran.
5. Melakukan penahapan dalam penetapan syari'at. Hal ini seperti halnya dalam menghukumi khomr. Hukum khomr yang haram ternyata melalui beberapa tahap tidak langsung divonis haram, Hal itu dengan melihat kondisi bangsa arab yang sudah melekat dengan adat tersebut.
C. Di Balik Tanggal 17 Ramadhan
Ketika memasuki bulan ramadhan, kita selalu merayakan ritual peringatan nuzulul Quran dengan berbagai cara demi mengagungkan malam yang disaat itu pada beberapa abad yang lalu al-Quran mulai diturunkan pada tanggal tersebut.
Sebenarnya banyak versi dalam menentukan kapan al-Quran mulai diturunkan. Salah satu diantara pendapat tersebut adalah tanggal 17 Ramadlan. Hal ini sesuai yang ditegaskan dalam hadits :
عَنْ خَارِجَةَ بن زَيْدِ بن ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ يُحْيِي لَيْلَةَ ثَلاثٍ وَعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَلا كَإِحْيَائِهِ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ فَقِيلَ لَهُ كَيْفَ تَخُصُّ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ ؟ فَقَالَ إِنَّ فِيهَا نَزَلَ الْقُرْآنُ وَفِي صَبِيحَتِهَا فُرِّقَ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَكَانَ فِيهَا يُصْبِحُ مُبْهَجَ الْوَجْهِ (رواه الطبراني)
Artinya : "Dari Khârijah ibn Zaid ibn Tsâbit dari ayahnya, sesungguhnya ia selalu menghidupkan (beribadah pada) malam dua puluh tiga dan dua puluh tujuh bulan Ramadlan. Namun tidak seperti ketika Beliau menghidupkan malam ke tujuh belas. Ia ditanya,”Mengapa engkau mengkhususkan malam ketujuh belas ?” Zaid menjawab, “Pada malam itu al-Qurân diturunkan dan pada paginya dipisahkan antara yang haq dan yang bathil...".(HR at-Thabrâny)
حَدَّثَنِي حَوْطٌ الْعَبْدِيُّ ، قَالَ : سَأَلْتُ زَيْدَ بن أَرْقَمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ؟ فَقَالَ مَا أَشُكُّ وَمَا أمتري أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةَ نُزُولِ الْقُرْآنِ ، وَيَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ( رواه الطبراني)
Artinya : "Hauth al-‘Abdy bercerita padaku. Ia mengatakan, Aku bertanya tentang lailautl qadr. Ia menjawab, Aku tidak ragu dan tidak gamang bahwa seusngguhnya lailatul qadr adalah tanggal tujuh belas, malam turunya al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan". (HR at-Thabrâny)
Menurut para ulamapun mereka menyetujui bahwa pada tanggal 17 ramadhan itulah al-quran diturunkan. Sebagaimana Syeikh Nawawi al-Bantany mengatakan :
إلى أن أتاه صريح الحق منه ووافاه وذلك (إتيان صريح الأمر المحقق) في يوم الإثنين سبع عشرة (ليلة) خلت (مضت) من شهر الليلة القدرية (وهو رمضان الذي تكون فيه القدر غالبا)
…..Sampai Beliau menerima kebenaran yang nyata (wahyu) pada hari Senin tanggal 17 Ramadlan, pada malam lailatul qadar
D. Hukum Memperingati Nuzulul Qur'an
Peringatan Nuzulul Qurân yang kita jumpai dan kita kenal dalam masyarakat adalah tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini bertumpu pada hasdits yang telah disampaikan oleh shahabat Zaid bin Tsâbit yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani seperti hadits diatas.
Al-Qur'an yang pada dasarnya adalah wahyu yang paling istimewa yang diberikan Allah SWT kapada Nabi Muhammad SAW, maka sudah semestinya kita bergembira atas rahmat yang yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan umumnya kepada kita. Firman Allah SWT dalam QS. Yunus ayat 58 yang artinya :"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".(QS. Yûnus: 58)
Dalam sebuah hadits telah diriwayatkan :
عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الإثنين فقال : فِيهِ وُلِدْت وَفِيهِ َأُنْزِلَ عَلَيَّ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ و أبو داود و أحمد (
Artinya :“Dari Abi Qatadah al-Anshariy, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab : Dihari itu aku dilahirkan dan dihari itu pula aku memperoleh wahyu”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Dan jelas pula kesimpulan dari hadits diatas bahwa Nabi SAW juga merayakan turunya wahyu dengan berpuasa. Meskipun Nabi Muhammad SAW memperingatinya dengan cara berpuasa dan masyarakat kita merayakanya dengan berbagai ragam cara masing-masing seperti yang kita kenal. Misalnya masyarakat mengisinya dengan pembacaan ayat suci al-Qur'an, ajakan untuk merenungi kembali dan mengamalkan ajaran al-Qur'an. Inti dari peringatan Nuzulul Qur'an adalah menunjukkan rasa kegembiraan kita atas turunnya al-Qur'an yang merupakan mu'jizat yang istimewa dan merupakan petunjuk bagi seluruh umat islam dalam menjalankan syari'at, sebagai sebuah sarana untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan memperingati Nuzulul Qur'an, maka kita juga bisa mendapatkan nilai ibadah yang terdapat dalam peringatan tersebut. Seperti halnya teladan yang diberikan oleh shahabat. Dan jika dikatakan bahwa peringatan tersebut adalah bid'ah, maka tergolong bid’ah hasanah melihat isi dan makna perayaan tersebut, yakni dengan berbagai macam ibadah yang kita gunakan sebagai cara untuk memperingatinya. Dan kesemuanya itu adalah ibadah dan anjuran syara’sesuai dalil yang telah dikemukakan.
Al-Quran secara bahasa berasal dari lafadz قرأ yang berarti bacaan. Secara istilah al-Quran adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril as, yang membacanya merupakan sebuah ibadah, sebagai petunjuk yang jelas bagi manusia. Al-Quran merupakan mu'jizat paling istimewa yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW diantara mu'jizat-mu'jiat yang lain. Al-Quran merupakan sumber utama dalam menggali hukum-hukum islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
و نزلنا عليك الكتب تبيانا لكل شئ (النحل : 16)
Artinya : "Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu". (QS. An Nahl : 16)
Al-Qur'ân diturunkan dalam tiga tahap :
1. Al-Qur'ân diturunkan secara sekaligus ke Lauh al-Mahfûdh dengan cara yang hanya diketahui Allah dan orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dalam proses awal ini al-Quran diturunkan dalam satu kumpulan (جملة واحدة). Sedangkan hikmahnya adalah agar umat manusia mau beriman, meyakini akan wujudnya Lauh al-Mahfûdz sebagai bukti kekuasaan Allah dan tetap berbaik sangka atas segala kebijakan dari Allah SWT (Turunnya al-Quran tidak langsung ke Nabi SAW melainkan ke Lauh Mahfûdz terlebih dahulu). Dalil turunnya al-Qurân tahap pertama ini adalah QS. Al Buruj ayat 21-22 yang artinya : "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh".(QS. al-Burûj :21-22)
2. Al-Quran diturunkan dari Lauh al-Mahfûdh ke langit dunia (bait al-‘izzah). Mengenai hal ini ada tiga pendapat :
a. Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada waktu malam qadar (lailatul qadar), kemudian diturunkan secara bertahap dalam waktu 20 atau 23 atau 25 tahun. Perbedaan jumlah ini karena adanya perbedaan mengenai berapa lama Nabi tinggal di Mekkah setelah kenabian.
b. Al-Quran diturunkan ke langit dunia selama 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun. Ada yang berpendapat selama 23 kali malam qadar dalam 23 tahun, ada yang mengatakan selama 25 kali pada malam qadar dalam 25 tahun. Kemudian al-Quran diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah SAW disepanjang tahun.
c. Al-Quran pertama kali diturunkan pada malam qadar. Kemudian setelah itu turun secara bertahap dalam waktu 23 tahun. Kemudian diturunkan secara bertahap dalam berbagai waktu.
Mayoritas ulama setuju dengan pendapat pertama, karena lebih masyhur dan terbukti paling valid. Hal ini didukung oleh beberapa dalil diantaranya QS. ad-Dukhân : 1-3 yang artinya : "1.Haa miim. 2. Demi Kitab (Al-Quran) yang menjelaskan 3. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan". (QS. ad-Dukhân : 1-3)
Dan QS. Al Qodr ayat 1 yang artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan". (QS. al-Qadr :1 )
Juga QS. al-Baqarah ayat 185 yang artinya : "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)". (QS al-Baqarah : 185)
Jelaslah bagi kita bahwa al-Quran diturunkan pada suatu malam yang penuh berkah, sebagaimana dalam al-Quran surat ad Dukhon. Malam itu disebut dengan Lailah al-Qadr sebagaimana dalam surat al-Qadr ayat 1 dan terletak pada bulan ramadhan seperti yang termaktub dalam surat al-Baqarah. Sebagaimana dimaklumi, al-Quran diturunkan kepada Nabi SAW secara bertahap semenjak beliau diangkat menjadi Nabi sampai wafat. Karena itu, yang dimaksud ketiga ayat di atas tentulah bukan turunnya al-Quran kepada Nabi, namun turunnya al-Quran ke langit dunia sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits :
عن ابن عباس انه قال فصّل القرآن من الذكر فوضع في بيت العزة من السماء الدنيا فجعل الجبريل ينزل به على النبي ,(رواه الحاكم )
Artinya : "Ibnu Abbas berkata : al-Quran dipisahkan dari ad-dzikr kemudian diletakkan di baitil ‘izzah di langit dunia, kemudian jibril membawa (menurunkan) kepada Nabi SAW". (HR. Hakim)
عن ابن عباس قال أنزل القرآن في ليلة القدر في شهر رمضان إلى سماء الدنيا ليلة واحدة ثم أنزل نجوماً (أخرجه الطبراني و إسناده لا بأس به)
Artinya : "Dari ibn ‘Abbâs ia berkata, “Al-Quran diturunkan di malam qadr pada bulan Ramadlan ke langit dunia dalam satu malam kemudian diturunkan secara bertahap". (HR. at-Thabrâny)
عن ابن عباس قال أنزل القرآن جملة واحدة حتى وضع في بيت العزة في السماء الدنيا ونزله جبريل على محمد بجواب كلام العباد وأعمالهم (أخرجه الطبراني والبزار)
Artinya : "Dari ibn ‘Abbâs ia berkata, “Al-Quran diturunkan secara sekaligus sehingga diletakkan di bait al-’izzah di langit dunia. Dan Jibril as. menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW dalam menjawab pertanyaan para hamba dan perbuatan mereka". (HR. at-Thabrâny dan al-Bazzâr)
Hikmah al-Quran diturunkan secara sekaligus ke langit dunia adalah mengagungkan nilai al-Quran dan Nabi yang diberi wahyu sekaligus sebagai pengumuman kepada seluruh penduduk langit bahwa ini adalah kitab yang terakhir diturunkan.
3. Al-Quran diturunkan kepada Nabi secara bertahap dari langit dunia melalui Malaikat Jibril mulai tanggal 17 Ramadlan (menurut sebagian pendapat). Ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah QS. As Syu’ara’ ayat 193-195 yang artinya: "Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa arab yang jelas". (QS. as-Syu’arâ` : 193-195)
B. Alasan Dan Hikmah Al-Quran Diturunkan Secara Bertahap
Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari penurunan al-Quran secara bertahap, diantaranya:
1. Lebih menancap didalam hati beliau Nabi SAW dan menghilangkan keraguan akan kebenaran al-Quran, karena berangsur-angsurnya sesuatu yang sesuai dengan kenyataan membuat hati semakin yakin akan kebenaran hal itu. Ini sebagaimana yang disebut dalam firman Allah QS. Al Furqon ayat 32 yang artinya: "Berkatalah orng-orang kafir, Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja, demikinlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakan secara tartil (teratur dan benar)". (QS. al-Furqân :32)
2. Mempermudah menghapal al-Quran bagi orang-orang muslimin, memahaminya dan merenungi makna al-Quran. Karena sebagaimana diketahui, mayoritas orang Arab di masa itu ummy (tidak bisa tulis baca) sebagaimana dalam firman Allah QS. Al Jum’ah ayat 2 yang artinya : "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata". (QS. Al Jumu’ah : 2)
3. Sebagai tanda bahwa al-Quran benar-benar diturunkan dari Allah, sebagaimana dalam firman-Nya QS. Al Hud ayat 1 yang artinya : "Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu". (QS. Hûd : 1)
4. Menantang dan melemahkan para penentang al-Quran, dengan menjawab berbagai pertanyaan dari mereka. Bahkan menantang mereka untuk membuat suatu yang serupa dengan al-Quran.
5. Melakukan penahapan dalam penetapan syari'at. Hal ini seperti halnya dalam menghukumi khomr. Hukum khomr yang haram ternyata melalui beberapa tahap tidak langsung divonis haram, Hal itu dengan melihat kondisi bangsa arab yang sudah melekat dengan adat tersebut.
C. Di Balik Tanggal 17 Ramadhan
Ketika memasuki bulan ramadhan, kita selalu merayakan ritual peringatan nuzulul Quran dengan berbagai cara demi mengagungkan malam yang disaat itu pada beberapa abad yang lalu al-Quran mulai diturunkan pada tanggal tersebut.
Sebenarnya banyak versi dalam menentukan kapan al-Quran mulai diturunkan. Salah satu diantara pendapat tersebut adalah tanggal 17 Ramadlan. Hal ini sesuai yang ditegaskan dalam hadits :
عَنْ خَارِجَةَ بن زَيْدِ بن ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ يُحْيِي لَيْلَةَ ثَلاثٍ وَعِشْرِينَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَلا كَإِحْيَائِهِ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ فَقِيلَ لَهُ كَيْفَ تَخُصُّ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ ؟ فَقَالَ إِنَّ فِيهَا نَزَلَ الْقُرْآنُ وَفِي صَبِيحَتِهَا فُرِّقَ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ وَكَانَ فِيهَا يُصْبِحُ مُبْهَجَ الْوَجْهِ (رواه الطبراني)
Artinya : "Dari Khârijah ibn Zaid ibn Tsâbit dari ayahnya, sesungguhnya ia selalu menghidupkan (beribadah pada) malam dua puluh tiga dan dua puluh tujuh bulan Ramadlan. Namun tidak seperti ketika Beliau menghidupkan malam ke tujuh belas. Ia ditanya,”Mengapa engkau mengkhususkan malam ketujuh belas ?” Zaid menjawab, “Pada malam itu al-Qurân diturunkan dan pada paginya dipisahkan antara yang haq dan yang bathil...".(HR at-Thabrâny)
حَدَّثَنِي حَوْطٌ الْعَبْدِيُّ ، قَالَ : سَأَلْتُ زَيْدَ بن أَرْقَمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ؟ فَقَالَ مَا أَشُكُّ وَمَا أمتري أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةَ نُزُولِ الْقُرْآنِ ، وَيَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ( رواه الطبراني)
Artinya : "Hauth al-‘Abdy bercerita padaku. Ia mengatakan, Aku bertanya tentang lailautl qadr. Ia menjawab, Aku tidak ragu dan tidak gamang bahwa seusngguhnya lailatul qadr adalah tanggal tujuh belas, malam turunya al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan". (HR at-Thabrâny)
Menurut para ulamapun mereka menyetujui bahwa pada tanggal 17 ramadhan itulah al-quran diturunkan. Sebagaimana Syeikh Nawawi al-Bantany mengatakan :
إلى أن أتاه صريح الحق منه ووافاه وذلك (إتيان صريح الأمر المحقق) في يوم الإثنين سبع عشرة (ليلة) خلت (مضت) من شهر الليلة القدرية (وهو رمضان الذي تكون فيه القدر غالبا)
…..Sampai Beliau menerima kebenaran yang nyata (wahyu) pada hari Senin tanggal 17 Ramadlan, pada malam lailatul qadar
D. Hukum Memperingati Nuzulul Qur'an
Peringatan Nuzulul Qurân yang kita jumpai dan kita kenal dalam masyarakat adalah tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini bertumpu pada hasdits yang telah disampaikan oleh shahabat Zaid bin Tsâbit yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani seperti hadits diatas.
Al-Qur'an yang pada dasarnya adalah wahyu yang paling istimewa yang diberikan Allah SWT kapada Nabi Muhammad SAW, maka sudah semestinya kita bergembira atas rahmat yang yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan umumnya kepada kita. Firman Allah SWT dalam QS. Yunus ayat 58 yang artinya :"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".(QS. Yûnus: 58)
Dalam sebuah hadits telah diriwayatkan :
عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الإثنين فقال : فِيهِ وُلِدْت وَفِيهِ َأُنْزِلَ عَلَيَّ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ و أبو داود و أحمد (
Artinya :“Dari Abi Qatadah al-Anshariy, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab : Dihari itu aku dilahirkan dan dihari itu pula aku memperoleh wahyu”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Dan jelas pula kesimpulan dari hadits diatas bahwa Nabi SAW juga merayakan turunya wahyu dengan berpuasa. Meskipun Nabi Muhammad SAW memperingatinya dengan cara berpuasa dan masyarakat kita merayakanya dengan berbagai ragam cara masing-masing seperti yang kita kenal. Misalnya masyarakat mengisinya dengan pembacaan ayat suci al-Qur'an, ajakan untuk merenungi kembali dan mengamalkan ajaran al-Qur'an. Inti dari peringatan Nuzulul Qur'an adalah menunjukkan rasa kegembiraan kita atas turunnya al-Qur'an yang merupakan mu'jizat yang istimewa dan merupakan petunjuk bagi seluruh umat islam dalam menjalankan syari'at, sebagai sebuah sarana untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan memperingati Nuzulul Qur'an, maka kita juga bisa mendapatkan nilai ibadah yang terdapat dalam peringatan tersebut. Seperti halnya teladan yang diberikan oleh shahabat. Dan jika dikatakan bahwa peringatan tersebut adalah bid'ah, maka tergolong bid’ah hasanah melihat isi dan makna perayaan tersebut, yakni dengan berbagai macam ibadah yang kita gunakan sebagai cara untuk memperingatinya. Dan kesemuanya itu adalah ibadah dan anjuran syara’sesuai dalil yang telah dikemukakan.
SEPUTAR MILADIYYAH
Maulid Nabi adalah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang berisi pembacaan ayat-ayat al-Qur'an, sejarah ringkas kehidupan Nabi Muhammad SAW, shalawat, syair-syair pujian kepada Nabi SAW. Biasanya maulid Nabi dilakukan dengan membaca al-Barzanjiy, ad-Diba’iy, Simth ad-Durâr, menghidangkan makanan, membaca shalawat, ceramah keagamaan, dan lain-lain. Dengan menjelajahi seluk beluk kehidupan Nabi SAW, banyak hal yang dapat kita pelajari baik dari sisi kemanusian, sosial, keadilan dan lain sebagainya. Karena beliau SAW adalah manusia terbaik dan teladan yang akan membawa kita pada jalan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam S. al Ahzab ayat 21 yang artinya : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah". (QS. Al Ahzab : 21)
1. Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Peringatan maulid seperti yang kita kenal sekarang, sebenarnya baru dirintis oleh penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’îd Al-Kukburi Bin Zainuddin Ali Bin Buktikin. Meski demikian, orang yang melakukannya akan diberi pahala. Imam Suyûthy mengatakan :
سُئِلَ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا قَالَ وَالْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنْ الْآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
Artinya : "Beliau (Imam Suyûthy) ditanya tentang perayaan maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal. Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? Apakah terpuji atau tercela ? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak ? Beliau menjawab : “Jawabannya menurutku bahwa asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an, dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala, karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan rasa suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia".
Jadi sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi itu merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur dan senang atas terlahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Di samping itu, melihat isi dari perayaan maulid Nabi SAW, hal ini termasuk melaksanakan anjuran-anjuran agama. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang tentu terkandung dalam perayaan maulid Nabi :
a. Pembacaan shalawat pada Nabi SAW yang keutamaannya sudah tidak diragukan lagi. Diisi dengan sejarah Nabi SAW ketika berdakwah, cerita kelahiran beliau dan wafatnya. Sehingga dengan kajian inilah seorang muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
b. Peringatan tersebut merupakan sebab atau sarana yang mendorong kita untuk bershalawat pada beliau sehingga termasuk melakukan perintah Allah SWT :
إنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب :56)
Artinya : "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian dan ucapkanlah salam penghormatan untuknya. (QS. Al Ahzab : 56)
c. Menceritakan tentang sopan santun dan tingkah laku yang terpuji, sehingga seorang muslim akan termotivasi untuk mengikuti perilaku beliau SAW. Apa lagi diselingi dengan pengajian keagamaan, membaca al-Quran, bersedekah dan ritual-ritual lain yang mendapatkan legalitas syari'ah.
Penjelasan diatas memberikan pengertian bahwa peringatan maulid nabi merupakan tradisi yang baik, mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang akhirnya kembali kepada umat itu sendiri.
Hanya saja yang perlu ditegaskan, peringatan maulid Nabi SAW tidak terkhusus pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Kita dianjurkan untuk selalu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap ada kesempatan, lebih-lebih ketika bulan Rabi’ul Awwal dan hari Senin. Memang peringatan maulid Nabi SAW pada bulan tertentu dan dengan model tertentu tidak mempunyai nash yang tegas. Namun juga tidak ada satu dalilpun yang melarang untuk berkumpul bersama-sama mengingat Allah SWT, membaca shalawat dan amal-amal baik lainnya yang harus selalu kita perhatikan dan lakukan. Apalagi pada bulan kelahiran beliau SAW, dimana rasa keterikatan sejarah akan sangat mendorong masyarakat untuk lebih bersungguh-sungguh.
2. Dalil-Dalil Diperbolehkannya Perayaan Maulid
a. Perayaan maulid Nabi SAW hakikatnya adalah ungkapan rasa syukur dan senang atas kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini. Allah SWT telah berfirman dalam S. Yunus ayat 58 yang artinya :"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".(QS. Yûnus: 58)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk bergembira tatkala mendapatkan rahmat Allah SWT. Sementara rahmat yang paling agung adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah SWT dalam S. Al Anbiya’ ayat 107 yang artinya : "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS. Al Anbiyâ` : 107)
b. Peringatan maulid Nabi juga dicontohkan oleh beliau SAW sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Disebutkan bahwa ketika rasulullah SAW ditanya tentang alasan beliau berpuasa pada hari senin, Rasululah SAW bersabda :
عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الإثنين فقال : فِيهِ وُلِدْت وَفِيهِ َأُنْزِلَ عَلَيَّ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ و أبو داود و أحمد (
Artinya :“Dari Abi Qatadah al-Anshariy, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab : Dihari itu aku dilahirkan dan dihari itu pula aku memperoleh wahyu”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Dari hadits diatas Rasulullah SAW ingin menunjukan kepada para sahabat, bahwa hari senin menjadi maulid karena dirinya, peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan beliau SAW.
Nabi SAW memperingati hari kelahiran beliau dengan berpuasa, beda dengan masyarakat sekarang ini. Hal itu bukanlah sesuatu yang bermasalah, karena hanya masalah metode saja, sedang intinya sama, yaitu memperingati dan mensyukuri atas kelahiran beliau Nabi SAW.
c. Sebagaimana dari keterangan yang telah lewat, bahwa hakikat peringatan maulid Nabi adalah merasa senang atas kelahiran Rasulullah SAW. Abu Lahab ternyata merasakan manfaat dari rasa kegembiraanya atas kelahiran Nabi SAW. Dia mendapat keistimewaan ditengah-tengah siksaan yang pedih, setiap hari senin ia mendapat minuman yang keluar dari sela-sela ibu jari tanganya. Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa 'Urwah bin Zubair berkata :
ثويبة مولاة لأبي لهب كان أبو لهب أعتقها فأرضعت النبي صلى الله عليه و سلم فلم مات أبو لهب أريه بعض أهله بشر حيبة قال له : ماذا لقيت ؟ قال أبو لهب : لم ألق بعدكم غير أني سقيت في هذه بعتاقتي ثويبة (رواه البخاري)
Artinya :“Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Setelah itu Abu Lahab memerdekakanya. Tsuwaibah kemudian menyusui Nabi SAW. Ketika Abu Lahab mati, salah seorang anggota keluarganya bermimpi melihat Abu Lahab dalam keadaan yang sangat buruk, dan bertanya kepadanya : Apa yang kau peroleh ?. Abu Lahab menjawab : Tidak kutemukan sedikitpun kenyamanan. Hanya saja aku diberi minum dari sini (sambil menunjuk sesuatu diantara jari telunjuk dan ibu jari tanganya), karena kumerdekakan Tsuwaibah “. (HR. Bukhari)
Kebenaran riwayat diatas sangat kuat, karena dicantumkan dalam kitab tershahih, yaitu shahih Bukhari dan juga dalam berbagai buku sejarah islam. Disamping itu, kebenaran mimpi tersebut tidak dibantah oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
3. Pembacaan Al- Barzanjiy dan Sejenisnya
Membaca al-Barzanjiy, ad-Diba’iy, Simth ad-Duror al-Lami’ dan sejenisnya diperbolehkan. Karena didalamnya berisi syair-syair pujian kepada Nabi SAW, shalawat dan lain sebagainya. Bahkan tradisi bersyi'ir memuji Rasulullah SAW telah dilakukan oleh para sahabat, seperti sayyidina Abbas ra. Sebagaimana dalam hadits :
قَالَ خُرَيْمُ بن أَوْسِ بن حَارِثَةَ بن لامٍ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ , فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَحِمَهُ اللَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَمْدَحَكَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ هَاتِ لا يَفْضُضِ اللَّهُ فَاكَ فَأَنْشَأَ الْعَبَّاسُ يَقُولُ :
مِنْ قَبْـلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلالِ وَفِي مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
ثُـمَّ هَبَطْتَ الْبِلادَ لا بَشَـرٌ أَنْــتَ وَلا مُضْـغَةٌ وَلا عَلـقُ
بَلْ نُطْفَةٌ تَـرْكَبُ السَّفِينَ وَقَـدْ أَلْجَـمَ نَسْرًا وَاهَـلَهُ الْغَـرَقُ
تُنْـقَلُ مِنْ صَالِبٍ إِلَى رَحِــمٍ إِذَا مَضَى عَالِمٌ بَــدَا طَبـَقُ
حَتَّى احْتـَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ منْ خَـنْدَفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّـطْقُ
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْـرَقَتِ الـْ أَرْضُ وَضَـاءَتْ بنورِكَ الأُفُقُ
فَنَحْـنُ فِي الضِّيَاءِ وَفِـي النْـ ـنُوْرِ وَسُـبْلُ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ
(رواه الحاكم في المستدرك والطبراني في المعجم الكبير)
Artinya : “Khuraim bin Aus bin Haritsah bin Lam berkata : Kami berada disamping Nabi SAW, kemudian al-Abbas bin Abdul Mutholib berkata kepada beliau : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin memuji engkau, kemudian Nabi SAW menjawabnya : Kemarilah, semoga Allah SWT tidak merontokkan gigimu. Lalu al-Abbas berdendang :
Sebelum terlahir kedunia, engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan, engkau tersimpan ditempat yang aman
Kemudian engkau turun kebumi, bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging
Tetapi nuthfah, yang menaiki perahu Nuh ketika banjir besar menenggelamkan semua anak cucu Adam beserta keluarganya
Kemudian engkau berpindah dari sulbi ke rahim
Dari satu generesi ke generasi berikutnya
Hingga kemulian dan kehormatanmu
Berlabuh dinasab terbaik yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir, bumi bersinar
Cakrawala bermandikan cahayamu
Kamipun berjalan ditengah-tengah cahaya
Sinar dan jalan yang penuh petunjuk itu"
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dan at-Thabaroni dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Selain sahabat al-Abbas ra. masih ada lagi sahabat yang memuji kepada Nabi SAW dengan menyanyikan syair-syair, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rowahah, Ka’ab bin Malik, dan Ka’ab bin Zubair.
4. Seputar Pengkultusan Rasulullah SAW
Sebagian orang melarang perayaan maulid dan membaca al-Barzanjiy dan sejenisnya, karena berisi tentang pujian kepada Rasulullah SAW. Padahal Nabi SAW sendiri telah melarang pujian kepada beliau SAW, sebagaimana dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
Artinya : "Dari Ibn ‘Abbas ra., ia mendengar Umar ra. berkata diatas mimbar : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : Jangan memuji aku secara berlebihan sebagaimana orang Nashrani memuji Isa ibn Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah : Hamba Allah dan Utusanl-Nya”. (HR. Bukhâri)
Untuk menaggapi hal tersebut, perlu kita ketahui dahulu bahwa Rasulullah SAW telah melarang memuji kepada beliau, yaitu memuji seperti yang dilakukan orang Nashrany kepada Nabi Isa as. dengan menganggap Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan atau bagian dari Trinitas. Inilah jenis pujian yang dilarang oleh Rasululah SAW dan yang dimaksud dengan berlebihan didalam memuji Rasulullah SAW. Memuji kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak sampai mengkultuskan, menuhankan atau mengeluarkan beliau dari sisi kemanusiaan diperbolehkan karena Allah SWT sendiri telah memuji kepada beliau, seperti dalam firman-Nya S. Al Qalam ayat 4 yang artinya : "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS. Al Qalam : 4 )
Kita memuji kepada Nabi Muhammad SAW bukan berarti kita mengkultuskan beliau SAW. Dahulu para shahabat sering memuji kepada beliau SAW seperti kisah al-‘Abbâs diatas, dan ternyata beliau SAW mendiamkan saja yang berarti pertanda bahwa beliau SAW menyetujuinya.
5. Berdiri Tatkala Mahal Al-Qiyâm
Biasanya pembacaan buku-buku sejarah kelahiran Nabi saat dibacakan sejarah detik-detik kelahiran beliau SAW, seluruh hadirin berdiri dan melantunkan shalawat dan salam sebagai wujud rasa syukur.
Berdiri sebagai penghormatan, perwujudan rasa senang dan pemuliaan sesuatu bukanlah suatu hal yang baru dalam islam. Dalam sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Sayyidatuna 'Aisyah rha. berkata :
عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت ما رأيت أحدا أشبه سمتا و دلا وهديا برسول الله في قيامها و قعودها من فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم و كانت إذا دخلت على النبي صلى الله عليه و سلم قام إليها و قبلها و أجلسها في مجلسه و كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا دخل عليها قامت من مجلسها فقبلته و أجلسته في مجلسها.... (رواه الترمذي)
Artinya : "Dari 'Aisyah binti Tholhah dari 'Aisyah umm al-Mu'min, beliau berkata : Aku tidak melihat seorangpun yang perangai, akhlak dan petunjuknya, berdiri dan duduknya mirip dengan Rasulullah SAW seperti Fathimah putri Rasulullh SAW. Dahulu jika Fathimah datang mengunjung Rasulullah SAW, maka beliau SAW berdiri menyambut kedatangannya, mencium (kening)-nya dan mendudukannya ditempat duduk beliau SAW. Dan jika Nabi SAW mengunjungi Fathimah, Fathimahpun berdiri menyambut kedatangan beliau, mencium (kening) beliau dan mendudukkannya ditempat duduk Fathimah ..." (HR. Tirmidzi)
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW dan putrinya dalam hadits diatas merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa senang dengan kedatangan orang yang dicintai. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Sa'id bin Muadz datang menghadap Rasulullah SAW, Rasul bersabda kepada para sahabat "Berdirilah, sambut pimpinan kalian".
عن أبي سعيد الخضري رضي الله عنه قال :...قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : قوموا إلى سيدكم (رواه البخاري و مسلم و أبو داود و أحمد)
Artinya : "Dari Abi Sa'id al-Khudriy ra. ia berkata :... Rasululah SAW bersabda : Berdirilah, sambut pimpinan kalian". (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Berdasakan kedua hadits diatas membuktikan bahwa berdiri sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta adalah hal yang diizinkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Perlu diketahui, berdiri tatkala membaca al-Barzanjy dan sebagainya, bukan sebuah ibadah. Itu hanyalah kebiasaan yang muncul dari rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah SAW. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk berdiri ataupun duduk. Karena hal tersebut bukan merupakan ibadah, maka selama tidak bertentangan dengan syari'at dan tidak membahayakan maka hukumnya mubah. Dan sesuatu yang mubah akan menjadi baik dan berpahala jika diisi dengan niat yang baik. Dan sebagaimana kita ketahui, niat berdiri dalam pembacaan sejarah kelahiran Nabi SAW tidak lain adalah untuk memuliakan kelahiran Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan kita untuk ikut berdiri saat pembacaan sejarah detik-detik kelahiran Nabi SAW.
Syeikh ‘Ali bin Burhânuddîn al-Halaby as-Syâfi’i berkata :
وقد وجد القيام عند ذكر اسمه من عالم الأمة ومقتدى الأئمة دينا وورعا الإمام تقي الدين السبكي اجتمع عنده جمع كثير من علماء عصره فأنشد قول البوصري في مدحه :
قليلٌ لمدح المصطفى الخطّ بالذهب على ورق من خط أحسن من كتب
وأن تنهض الأشـراف عند سماعه قياما صفوفا أو جثيّـًا على الركب
فعند ذلك قام السبكي رحمه الله وجميع من في المجلس فحصل أنس كبير بذلك المجلس ويكفي مثل ذلك في الاقتداء
Artinya : "Berdiri tatkala penyebutan nama Nabi SAW ditemukan (dilakukan) dari orang ‘alimnya umat dan panutan para imam dalam agama dan kewara’an, Imam Taqiyuddin as-Subky, belaiu berkumpul bersama banyak ulama masa itu, kemudian membaca syi’ir al-Bûshiry dalam memuji Nabi SAW :
Sedikit pujian bagi Nabi yang dipilih adalah tulisan emas diatas kertas
dari pada tulisan yang paling indah dalam buku-buku
Dan orang yang mulia bangkit manakala mendengarnya
dengan cara berdiri berbaris-baris atau berlutut diatas kendaraan
Ketika itulah Imam Subky rhm. dan semua orang yang berada di majlis berdiri, sehingga terjadilah ketentraman yang sangat besar di majlis itu. Hal ini sudah cukup sebagai panutan".
1. Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
Peringatan maulid seperti yang kita kenal sekarang, sebenarnya baru dirintis oleh penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Sa’îd Al-Kukburi Bin Zainuddin Ali Bin Buktikin. Meski demikian, orang yang melakukannya akan diberi pahala. Imam Suyûthy mengatakan :
سُئِلَ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ وَهَلْ هُوَ مَحْمُودٌ أَوْ مَذْمُومٌ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا قَالَ وَالْجَوَابُ عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنْ الْآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ
Artinya : "Beliau (Imam Suyûthy) ditanya tentang perayaan maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal. Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? Apakah terpuji atau tercela ? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak ? Beliau menjawab : “Jawabannya menurutku bahwa asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an, dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala, karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan rasa suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang mulia".
Jadi sebetulnya hakikat perayaan maulid Nabi itu merupakan bentuk pengungkapan rasa syukur dan senang atas terlahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Di samping itu, melihat isi dari perayaan maulid Nabi SAW, hal ini termasuk melaksanakan anjuran-anjuran agama. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang tentu terkandung dalam perayaan maulid Nabi :
a. Pembacaan shalawat pada Nabi SAW yang keutamaannya sudah tidak diragukan lagi. Diisi dengan sejarah Nabi SAW ketika berdakwah, cerita kelahiran beliau dan wafatnya. Sehingga dengan kajian inilah seorang muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
b. Peringatan tersebut merupakan sebab atau sarana yang mendorong kita untuk bershalawat pada beliau sehingga termasuk melakukan perintah Allah SWT :
إنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب :56)
Artinya : "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian dan ucapkanlah salam penghormatan untuknya. (QS. Al Ahzab : 56)
c. Menceritakan tentang sopan santun dan tingkah laku yang terpuji, sehingga seorang muslim akan termotivasi untuk mengikuti perilaku beliau SAW. Apa lagi diselingi dengan pengajian keagamaan, membaca al-Quran, bersedekah dan ritual-ritual lain yang mendapatkan legalitas syari'ah.
Penjelasan diatas memberikan pengertian bahwa peringatan maulid nabi merupakan tradisi yang baik, mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang akhirnya kembali kepada umat itu sendiri.
Hanya saja yang perlu ditegaskan, peringatan maulid Nabi SAW tidak terkhusus pada bulan Rabi’ul Awwal saja. Kita dianjurkan untuk selalu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap ada kesempatan, lebih-lebih ketika bulan Rabi’ul Awwal dan hari Senin. Memang peringatan maulid Nabi SAW pada bulan tertentu dan dengan model tertentu tidak mempunyai nash yang tegas. Namun juga tidak ada satu dalilpun yang melarang untuk berkumpul bersama-sama mengingat Allah SWT, membaca shalawat dan amal-amal baik lainnya yang harus selalu kita perhatikan dan lakukan. Apalagi pada bulan kelahiran beliau SAW, dimana rasa keterikatan sejarah akan sangat mendorong masyarakat untuk lebih bersungguh-sungguh.
2. Dalil-Dalil Diperbolehkannya Perayaan Maulid
a. Perayaan maulid Nabi SAW hakikatnya adalah ungkapan rasa syukur dan senang atas kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini. Allah SWT telah berfirman dalam S. Yunus ayat 58 yang artinya :"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".(QS. Yûnus: 58)
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk bergembira tatkala mendapatkan rahmat Allah SWT. Sementara rahmat yang paling agung adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana firman Allah SWT dalam S. Al Anbiya’ ayat 107 yang artinya : "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS. Al Anbiyâ` : 107)
b. Peringatan maulid Nabi juga dicontohkan oleh beliau SAW sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Disebutkan bahwa ketika rasulullah SAW ditanya tentang alasan beliau berpuasa pada hari senin, Rasululah SAW bersabda :
عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن صوم الإثنين فقال : فِيهِ وُلِدْت وَفِيهِ َأُنْزِلَ عَلَيَّ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ و أبو داود و أحمد (
Artinya :“Dari Abi Qatadah al-Anshariy, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab : Dihari itu aku dilahirkan dan dihari itu pula aku memperoleh wahyu”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Dari hadits diatas Rasulullah SAW ingin menunjukan kepada para sahabat, bahwa hari senin menjadi maulid karena dirinya, peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan beliau SAW.
Nabi SAW memperingati hari kelahiran beliau dengan berpuasa, beda dengan masyarakat sekarang ini. Hal itu bukanlah sesuatu yang bermasalah, karena hanya masalah metode saja, sedang intinya sama, yaitu memperingati dan mensyukuri atas kelahiran beliau Nabi SAW.
c. Sebagaimana dari keterangan yang telah lewat, bahwa hakikat peringatan maulid Nabi adalah merasa senang atas kelahiran Rasulullah SAW. Abu Lahab ternyata merasakan manfaat dari rasa kegembiraanya atas kelahiran Nabi SAW. Dia mendapat keistimewaan ditengah-tengah siksaan yang pedih, setiap hari senin ia mendapat minuman yang keluar dari sela-sela ibu jari tanganya. Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa 'Urwah bin Zubair berkata :
ثويبة مولاة لأبي لهب كان أبو لهب أعتقها فأرضعت النبي صلى الله عليه و سلم فلم مات أبو لهب أريه بعض أهله بشر حيبة قال له : ماذا لقيت ؟ قال أبو لهب : لم ألق بعدكم غير أني سقيت في هذه بعتاقتي ثويبة (رواه البخاري)
Artinya :“Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Setelah itu Abu Lahab memerdekakanya. Tsuwaibah kemudian menyusui Nabi SAW. Ketika Abu Lahab mati, salah seorang anggota keluarganya bermimpi melihat Abu Lahab dalam keadaan yang sangat buruk, dan bertanya kepadanya : Apa yang kau peroleh ?. Abu Lahab menjawab : Tidak kutemukan sedikitpun kenyamanan. Hanya saja aku diberi minum dari sini (sambil menunjuk sesuatu diantara jari telunjuk dan ibu jari tanganya), karena kumerdekakan Tsuwaibah “. (HR. Bukhari)
Kebenaran riwayat diatas sangat kuat, karena dicantumkan dalam kitab tershahih, yaitu shahih Bukhari dan juga dalam berbagai buku sejarah islam. Disamping itu, kebenaran mimpi tersebut tidak dibantah oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
3. Pembacaan Al- Barzanjiy dan Sejenisnya
Membaca al-Barzanjiy, ad-Diba’iy, Simth ad-Duror al-Lami’ dan sejenisnya diperbolehkan. Karena didalamnya berisi syair-syair pujian kepada Nabi SAW, shalawat dan lain sebagainya. Bahkan tradisi bersyi'ir memuji Rasulullah SAW telah dilakukan oleh para sahabat, seperti sayyidina Abbas ra. Sebagaimana dalam hadits :
قَالَ خُرَيْمُ بن أَوْسِ بن حَارِثَةَ بن لامٍ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ , فَقَالَ لَهُ الْعَبَّاسُ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَحِمَهُ اللَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَمْدَحَكَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ هَاتِ لا يَفْضُضِ اللَّهُ فَاكَ فَأَنْشَأَ الْعَبَّاسُ يَقُولُ :
مِنْ قَبْـلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلالِ وَفِي مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
ثُـمَّ هَبَطْتَ الْبِلادَ لا بَشَـرٌ أَنْــتَ وَلا مُضْـغَةٌ وَلا عَلـقُ
بَلْ نُطْفَةٌ تَـرْكَبُ السَّفِينَ وَقَـدْ أَلْجَـمَ نَسْرًا وَاهَـلَهُ الْغَـرَقُ
تُنْـقَلُ مِنْ صَالِبٍ إِلَى رَحِــمٍ إِذَا مَضَى عَالِمٌ بَــدَا طَبـَقُ
حَتَّى احْتـَوَى بَيْتُكَ الْمُهَيْمِنُ منْ خَـنْدَفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّـطْقُ
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْـرَقَتِ الـْ أَرْضُ وَضَـاءَتْ بنورِكَ الأُفُقُ
فَنَحْـنُ فِي الضِّيَاءِ وَفِـي النْـ ـنُوْرِ وَسُـبْلُ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ
(رواه الحاكم في المستدرك والطبراني في المعجم الكبير)
Artinya : “Khuraim bin Aus bin Haritsah bin Lam berkata : Kami berada disamping Nabi SAW, kemudian al-Abbas bin Abdul Mutholib berkata kepada beliau : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin memuji engkau, kemudian Nabi SAW menjawabnya : Kemarilah, semoga Allah SWT tidak merontokkan gigimu. Lalu al-Abbas berdendang :
Sebelum terlahir kedunia, engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan, engkau tersimpan ditempat yang aman
Kemudian engkau turun kebumi, bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging
Tetapi nuthfah, yang menaiki perahu Nuh ketika banjir besar menenggelamkan semua anak cucu Adam beserta keluarganya
Kemudian engkau berpindah dari sulbi ke rahim
Dari satu generesi ke generasi berikutnya
Hingga kemulian dan kehormatanmu
Berlabuh dinasab terbaik yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir, bumi bersinar
Cakrawala bermandikan cahayamu
Kamipun berjalan ditengah-tengah cahaya
Sinar dan jalan yang penuh petunjuk itu"
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dan at-Thabaroni dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Selain sahabat al-Abbas ra. masih ada lagi sahabat yang memuji kepada Nabi SAW dengan menyanyikan syair-syair, seperti Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rowahah, Ka’ab bin Malik, dan Ka’ab bin Zubair.
4. Seputar Pengkultusan Rasulullah SAW
Sebagian orang melarang perayaan maulid dan membaca al-Barzanjiy dan sejenisnya, karena berisi tentang pujian kepada Rasulullah SAW. Padahal Nabi SAW sendiri telah melarang pujian kepada beliau SAW, sebagaimana dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
Artinya : "Dari Ibn ‘Abbas ra., ia mendengar Umar ra. berkata diatas mimbar : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : Jangan memuji aku secara berlebihan sebagaimana orang Nashrani memuji Isa ibn Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah : Hamba Allah dan Utusanl-Nya”. (HR. Bukhâri)
Untuk menaggapi hal tersebut, perlu kita ketahui dahulu bahwa Rasulullah SAW telah melarang memuji kepada beliau, yaitu memuji seperti yang dilakukan orang Nashrany kepada Nabi Isa as. dengan menganggap Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan atau bagian dari Trinitas. Inilah jenis pujian yang dilarang oleh Rasululah SAW dan yang dimaksud dengan berlebihan didalam memuji Rasulullah SAW. Memuji kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak sampai mengkultuskan, menuhankan atau mengeluarkan beliau dari sisi kemanusiaan diperbolehkan karena Allah SWT sendiri telah memuji kepada beliau, seperti dalam firman-Nya S. Al Qalam ayat 4 yang artinya : "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS. Al Qalam : 4 )
Kita memuji kepada Nabi Muhammad SAW bukan berarti kita mengkultuskan beliau SAW. Dahulu para shahabat sering memuji kepada beliau SAW seperti kisah al-‘Abbâs diatas, dan ternyata beliau SAW mendiamkan saja yang berarti pertanda bahwa beliau SAW menyetujuinya.
5. Berdiri Tatkala Mahal Al-Qiyâm
Biasanya pembacaan buku-buku sejarah kelahiran Nabi saat dibacakan sejarah detik-detik kelahiran beliau SAW, seluruh hadirin berdiri dan melantunkan shalawat dan salam sebagai wujud rasa syukur.
Berdiri sebagai penghormatan, perwujudan rasa senang dan pemuliaan sesuatu bukanlah suatu hal yang baru dalam islam. Dalam sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Sayyidatuna 'Aisyah rha. berkata :
عن عائشة بنت طلحة عن عائشة أم المؤمنين قالت ما رأيت أحدا أشبه سمتا و دلا وهديا برسول الله في قيامها و قعودها من فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم و كانت إذا دخلت على النبي صلى الله عليه و سلم قام إليها و قبلها و أجلسها في مجلسه و كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا دخل عليها قامت من مجلسها فقبلته و أجلسته في مجلسها.... (رواه الترمذي)
Artinya : "Dari 'Aisyah binti Tholhah dari 'Aisyah umm al-Mu'min, beliau berkata : Aku tidak melihat seorangpun yang perangai, akhlak dan petunjuknya, berdiri dan duduknya mirip dengan Rasulullah SAW seperti Fathimah putri Rasulullh SAW. Dahulu jika Fathimah datang mengunjung Rasulullah SAW, maka beliau SAW berdiri menyambut kedatangannya, mencium (kening)-nya dan mendudukannya ditempat duduk beliau SAW. Dan jika Nabi SAW mengunjungi Fathimah, Fathimahpun berdiri menyambut kedatangan beliau, mencium (kening) beliau dan mendudukkannya ditempat duduk Fathimah ..." (HR. Tirmidzi)
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW dan putrinya dalam hadits diatas merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa senang dengan kedatangan orang yang dicintai. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Sa'id bin Muadz datang menghadap Rasulullah SAW, Rasul bersabda kepada para sahabat "Berdirilah, sambut pimpinan kalian".
عن أبي سعيد الخضري رضي الله عنه قال :...قال رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : قوموا إلى سيدكم (رواه البخاري و مسلم و أبو داود و أحمد)
Artinya : "Dari Abi Sa'id al-Khudriy ra. ia berkata :... Rasululah SAW bersabda : Berdirilah, sambut pimpinan kalian". (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)
Berdasakan kedua hadits diatas membuktikan bahwa berdiri sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta adalah hal yang diizinkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Perlu diketahui, berdiri tatkala membaca al-Barzanjy dan sebagainya, bukan sebuah ibadah. Itu hanyalah kebiasaan yang muncul dari rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah SAW. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk berdiri ataupun duduk. Karena hal tersebut bukan merupakan ibadah, maka selama tidak bertentangan dengan syari'at dan tidak membahayakan maka hukumnya mubah. Dan sesuatu yang mubah akan menjadi baik dan berpahala jika diisi dengan niat yang baik. Dan sebagaimana kita ketahui, niat berdiri dalam pembacaan sejarah kelahiran Nabi SAW tidak lain adalah untuk memuliakan kelahiran Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan kita untuk ikut berdiri saat pembacaan sejarah detik-detik kelahiran Nabi SAW.
Syeikh ‘Ali bin Burhânuddîn al-Halaby as-Syâfi’i berkata :
وقد وجد القيام عند ذكر اسمه من عالم الأمة ومقتدى الأئمة دينا وورعا الإمام تقي الدين السبكي اجتمع عنده جمع كثير من علماء عصره فأنشد قول البوصري في مدحه :
قليلٌ لمدح المصطفى الخطّ بالذهب على ورق من خط أحسن من كتب
وأن تنهض الأشـراف عند سماعه قياما صفوفا أو جثيّـًا على الركب
فعند ذلك قام السبكي رحمه الله وجميع من في المجلس فحصل أنس كبير بذلك المجلس ويكفي مثل ذلك في الاقتداء
Artinya : "Berdiri tatkala penyebutan nama Nabi SAW ditemukan (dilakukan) dari orang ‘alimnya umat dan panutan para imam dalam agama dan kewara’an, Imam Taqiyuddin as-Subky, belaiu berkumpul bersama banyak ulama masa itu, kemudian membaca syi’ir al-Bûshiry dalam memuji Nabi SAW :
Sedikit pujian bagi Nabi yang dipilih adalah tulisan emas diatas kertas
dari pada tulisan yang paling indah dalam buku-buku
Dan orang yang mulia bangkit manakala mendengarnya
dengan cara berdiri berbaris-baris atau berlutut diatas kendaraan
Ketika itulah Imam Subky rhm. dan semua orang yang berada di majlis berdiri, sehingga terjadilah ketentraman yang sangat besar di majlis itu. Hal ini sudah cukup sebagai panutan".
IJTIHAD
IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad di ambil dari kata al-juhd atau al-jahd yang berarti at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan).
Secara istilah, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk menghasilkan dhan pada suatu hukum. Versi lain mengatakan, ijtihad adalah usaha menggali hukum yang tidak ditemukan dalam hukum tersebut nash sharîh yang hanya mungkin mengandung satu kemungkinan arti.
2. Sejarah Ijtihad dan Dasar Hukumnya
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’âdz ra. ke Yaman untuk menjadi hakim, beliau SAW bertanya kepada Mu'adz, "Dengan apa engkau menghukumi", Mu'adz menjawab : "Dengan apa yang ada dalam Kitabullah". Rasulullah SAW bertanya : "Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan menghukumi dengan apa yang di putuskan Rasulullah SAW". Rasul SAW bertanya : "Jika kamu tidak mendapatkan dalam keputusan Rasulullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan berijtihad dengan pendapatku".
Setelah Rasulullah SAW wafat, sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in memberikan fatwa menurut pandangan dan pemahaman mereka tentang kitabullah dan sunah rasulullah kepada masyarakat awam yang bertanya kepada mereka.
Para ulama menyebutkan bahwa orang-orang yang berperan untuk memberikan fatwa di antara mereka (para shahabat) jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari.
Madzhab-madzhab baru terbukukan pada abad kedua dan ketiga hijriah dan baru tersebar puluhan tahun setelah itu. Yaitu setelah para murid senior (ash-hâb) dari masing-masing imam menyebarkan madzhabnya.
Setelah itu timbullah pewarisan madzhab dan penisbatan kepada madzhab-madzhab dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana diketahui dalam sejarah tasyri’ Islam.
Banyak dalil yang menjadi landasan untuk melaksanakan ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya adalah firman Allah SWT :
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله (النساء : 105)
Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan al-kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu". (QS. An Nisa' :105)
إن في ذلك لايات لقوم يتفكرون (الروم : 21)
Artinya : "Sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang befikir". (QS. Ar-Rum : 21)
Dari as-Sunnah di antaranya :
عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران و اذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : "Dari 'Amr bin al-'Ash bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jika seorang hakim menghukumi dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala dan jika ia menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim)
dan juga haditsnya Mu'adz ibnu Jabal ketika beliau mendapatkan pembekalan dari Rasulullah SAW sebelum diutus ke Yaman untuk dijadikan hakim sebagaimana keterangan yang telah lewat.
3. Obyek Ijtihad
Menurut al-Ghazali bahwa permasalahan-permasalahan yang boleh untuk dijadikan obyek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil qoth'iy . Dari pendapat tersebut dapat kita ketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan obyek ijtihad.
Dengan demikian, hukum syara' terbagi dalam dua pengelompokan, yaitu kelompok hukum-hukum syara' yang dapat dijadikan sebagai obyek ijtihad dan kelompok hukum syara' yang tidak dapat dijadikan obyek ijtihad.
Permasalahan yang telah ditentukan hukumnya oleh nash sharîh yang qath’iy al-wurûd dan qath’iy ad-dilâlah tidak ada peluang untuk ijtihad. Seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, kalimah syahadat, larangan zina, khomr, pembunuhan dan sanksi-sanksi hukuman yang secara tegas disampaikan dalam al- Qur'an. Sebagaimana dituangkan dalam al qur’an surat an Nur ayat 2 yang artinya:
Artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera". (QS. An-Nûr : 2)
Nash tersebut jelas maksudnya dalam hal menentukan bilangan hukum jilid, sehingga tidak diperkenankan untuk berijtihad.
Adapun permasalahan yang hukumnya berkaitan dengan nash yang berstatus dhanniy al-wurûd dan dhanniy ad-dilâlah atau salah satu dari wurûd dan dilâlah-nya berstatus dhanniy, maka peluang ijtihad masih terbuka. Hal ini dikarenakan seorang mujtahid diharuskan meneliti dan mengkaji dalil yang berstatus dhanniy al-wurûd dalam segi sanad yang sampai pada Rasulullah, kapasitas para rawinya ditinjau dari segi ‘adâlah, dlâbith, tsiqah, dan sebagainya.
Para mujtahid memiliki standar yang berbeda dalam mengkaji dan meneliti nash tersebut sesuai dengan ushul al-fiqih dan qowa’id al-fiqih mereka masing-masing. Yang tentunya bertendensi pada al-Qur'an dan al-Hadits.
Bila dalil yang berstatus dhanni ad-dilalah, maka seorang mujtahid dalam meneliti dan mengkaji dalil itu diarahkan pada pemahaman makna yang dikehendaki dari dalil tersebut, serta kekuatan penunjukan makna.
Dan bila permasalahannya tidak terdapat hukum keteranganya sama sekali dalam nash (al-Qur'an dan al-Hadits), maka peluang ijtihad sangat terbuka lebar. Karena mujtahid dapat mengetahui hukum permasalahan tersebut melalui dalil-dalil syara' yang lain, yaitu Ijma (kesepakatan para ulama’), Qiyas (analogi/ penyamaan hukum), Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi pada hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man Qoblanâ (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW).
Kesimpulannya, ijtihad dapat diberlakukan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada nash-nya dan permasalahan yang ada nash-nya namun tidak qath'iy. Ijtihad tidak dapat di lakukan pada hukum yang mempunyai nash qath’iy atau hukum-hukum yang kebenaranya tidak dapat diragukan lagi (ma’lûm min ad-dîn bi ad-dlarûrah). Artinya, untuk mengetahui dan mengamalkan hukum tersebut tidak melalui ijtihad, karena dalilnya telah jelas.
4. Macam/Model Ijtihad
Menurut M. Abu Zahrah, ijtihad terbagi menjadi dua macam :
a. Ijtihad dengan model Istinbath al-Ahkâm asy-Syar’iyyah, yaitu ijtihad yang secara khusus menggali hukum-hukum syari'at. Ijtihad semacam ini tertentu bagi kalangan ulama yang mampu dan berupaya mengetahui hukum-hukum furu’ dari nash (adillah tafshîliyah). Menurut mayoritas ulama’ ijtihad semacam ini telah berakhir, karena terbukti tidak ada lagi orang yang mumpuni untuk melakukannya.
b. Ijtihad dengan model Tathbîq al-Ahkâm asy-Syar’iyyah yaitu ijtihad yang secara khusus menerapkan hukum-hukum yang telah digali oleh para mujtahid terdahulu pada permasalahan-permasalahan yang baru muncul. Dengan ijtihad semacam ini dapat diketahui hukum suatu permasalahan yang belum pernah dikaji oleh para mujtahid terdahulu. Usaha menggunakan ijtihad semacam ini disebut tahqîq al-manâth.
Berdasarkan sebagian ulama yang mengatakan ijtihad mencakup ra'yu, qiyas dan akal, mereka memahami ra'yu sebagaimana yang diungkapkan para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid atau setidaknya mendekati syari'at tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Dari pendapat tersebut Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga :
a. Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum syari'at dari nash.
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra'yu (pendapat) berdasarkan kaidah istislah (al-Maslahah al-Mursalah).
Pembagian diatas menurut M. Taqiyu al Hakim masih belum sempurna, karena terdapat beberapa alasan. Menurutnya ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu :
a. Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya berdasarkan akal, tidak menggunakan dalil syara'. Mujtahid dibebaskan berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
b. Ijtihad Syar'i, yaitu ijtihad yang didasarakan syari'at, termasuk dalam pembagian ini adalah Ijma', Qiyas, Istihsan, Istislah, 'Urf, Istihsan dan lain-lain.
5. Syarat-Syarat Mujtahid
a. Menguasai bahasa arab
b. Menguasai ilmu al-Qur'an
c. Menguasai ilmu al-Hadits
d. Mengetahui hukum-hukum ijma’ dan khilaf
e. Mengetahui qiyas
f. Mengetahui maqoshid al-ahkam
g. Intelektualitas yang baik dan benar
h. Memiliki niat yang baik dan i’tiqod yang benar
Melihat persyaratan mujtahid yang begitu ketat, hampir bisa di pastikan bahwa sekarang tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi persyaratan seorang mujtahid secara sempurna.
6. Tingkatan Mujtahid
Menurut M. Abu Zahrah, para ulama ushul fiqih membagi fuqâha menjadi tujuh tingkatan, empat diantaranya dianggap sebagai mujtahid dan lainnya sebagai muqallid. Berikut urutannya :
a. Al-Mujtahidîn fi as-syar’i, Fuqaha’ yang mencapai tingkatan ini disebut mujtahidîn mustaqillîn. Mereka adalah fuqaha’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah di sebutkan di atas dan menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadits secara langsung. Diantara fuqaha` yang telah mencapai tingkatan ini adalah semua fuqaha` dari kalangan sahabat, fuqaha` dari kalangan tabi’in, seperti Sa’îd bin al-Musayyab dan Ibrâhîm an-Nakhâ’iy, fuqaha` yang berijtihad seperti Imam Ja’far Ash-Shadîq, Imam Muhammad al-Bâqir, Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’iy, Imam al-Laits bin Sa’d, Imam Sufyân Ats-Tsauriy, Imam Abu Tsaur dan masih banyak lagi, meskipun madzhab-madzhab mereka tidak terdokumentasikan.
c. Al-Mujtahidîn al-Muntasibîn, mereka adalah fuqaha` yang memilih pendapat seorang imam dalam bidang ushul, namun berbeda pendapat dalam bidang furu’, meskipun secara umum tidak berbeda jauh. Diantara fuqaha` yang mencapai tingkatan ini adalah Imam al-Muzâny dari madzhab Syafi’i, Abdurrahman bin al-Qâsim, Ibnu Wahb, Ibnu Abdul Hakîm dan lainnya.
d. Al-Mujtahidîn fi al-Madzhab, mereka adalah fuqaha` yang mengikuti seorang imam dalam bidang ushul dan furu’. Tugas mereka adalah menggali hukum-hukum dari beberapa permasalahan yang belum pernah ditetapkan oleh imam mereka.
e. Al-Mujtahidîn al-Murajjihîn, mereka adalah fuqaha` yang bertugas mentarjih (meneliti dan menyeleksi) pendapat ulama yang telah diriwayatkan dengan mengunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid sebelumnya.
f. Thabaqah al-Muhafidhîn, Ibnu ‘Âbidîn mengatakan bahwa mereka adalah fuqaha` yang mampu membedakan antara pendapat yang paling kuat (aqwâ), kuat (qowiy), lemah (dlo’if), dhâhir ar-riwâyah, dhâhir al-madzhab, ar-riwâyah an-nâdirah seperti para pengarang kitab matan yang mu’tabar, sehingga mereka tidak menampilkan pendapat-pendapat yang tertolak (qaul mardûd) dan riwayat-riwayat yang lemah dalam kitab-kitab mereka. Tugas mereka bukan mentarjih, namun berusaha mengetahui pendapat yang telah ditarjih dan mengurutkan derajat tarjih sesuai dengan ketetapan murajjihîn.
g. Muqallidîn, mereka adalah fuqaha` yang berada pada tingkatan yang paling bawah. Mereka dapat memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, namun tidak mampu mentarjih pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat ulama terdahulu.
h. Kalangan Awam
7. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkaitan dengan ijtihad, yaitu :
a. Fardu 'ain, tatkala orang terebut menemui permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya, serta tidak boleh taqlid pada orang lain. Karena ijtihad itu sama dengan hukum Allah SWT terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah SWT.
b. Juga Fardu 'ain, apabila ia ditanya suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, karena jika tidak segera dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum itu atau habis waktunya guna mengetahui kejadian tersebut.
c. Fardu kifayah, jika permasalahan yang ditanyakan kepadanya tidak dikhawatirkan habis waktunya atau terdapat orang lain yang sama-sama memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid.
d. Sunah, bila berijtihad pada permasalahan yang baru, baik ditanya atau tidak.
e. Haram, bila berijtihad pada permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth'i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara'.
8. Rasulullah Berijtihad
Ketika Rasulullah menerima para tawanan perang Badar, beliau SAW meminta pendapat para sahabat. Abu Bakar berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibiarkan hidup, karena mungkin saja mereka masih mau bertaubat dengan diharuskan membayar tebusan, guna menambah kekuatan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir. Sedangkan Umar berpendapat bahwa mereka telah berdusta dan mengusir Rasulullah SAW, karena itu mereka harus dibunuh sebagai balasannya. Adapun Ibnu Rawâhah berpendapat, mereka seharusnya dibakar dalam api yang membara. Rasulullah SAW terdiam tidak menanggapi pendapat-pendapat mereka dan kemudian pergi. Para sahabat mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Abu Bakar dan ada yang mengira Rasulullah SAW akan memilih pendapat Umar bahkan ada juga yang mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Ibnu Rowahah. Kemudian Rasulullah SAW datang lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih lunak dari pada air susu dan Allah telah mengeraskan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih keras dari pada batu. Wahai Abu Bakar, sesungguhnya sifatmu seperti sifat Nabi Ibrahim as. yang pernah berkata (didalam alqur’an surat Ibrahim ayat 36 yang artinya :“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ibrahim : 36)
dan seperti sifat Nabi Isa yang pernah berkata (didalam alqur’an surat al Maidah ayat 118) yang artinya : “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 118)
Wahai Umar sifatmu seperti sifat Nabi Nuh yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Nuh ayat 26) yang artinya::"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”. (QS. Nuh : 26)
dan seperti sifat Nabi Musa yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Yunus ayat 88) yang artinya : “Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS. Yunus : 88)
Kemudian Rasulullah berkata : ”Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari mereka sama sekali tidak boleh dilepaskan kecuali telah membayar tebusan atau dipotong lehernya”. Umar mengatakan : “Rasulullah lebih condong pada pendapat Abu bakar dan kurang setuju dengan pendapatku”. Kemudian para tawanan perang tersebut diminta tebusan. Umar berkata : “Keesokan harinya saya mendatangi Rasulullah SAW. Ketika itu beliau dan Abu Bakar sedang menangis". Saya bertanya : “Wahai Rasulullah, ceritakanlah padaku kenapa anda dan sahabat anda ini menangis ?" Rasulullah SAW menjawab : “Aku menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah dijelaskan bagiku bahwa hampir saja adzab turun pada mereka”. Kemudian turunlah qur’an surat al Anfal ayat 67 yang artinya : "Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi, kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Anfal: 67) . Dan ayat 68 yang artinya :"Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil". (QS. Al-Anfal : 68)
Dari ayat diatas Allah SWT menegur Rasululah SAW yang telah menerima tebusan dari orang-orang kafir. Andai penerimaan tebusan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah SWT, maka Allah tidak akan menegur beliau. Dengan demikian, pembayaran tebusan oleh para tawanan tersebut muncul dari ijtihad Nabi SAW.
selain itu ada juga ayat :
عفا الله عنك لم أذنت لهم (التوبة : 43)
Artinya : "Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberikan izin kepada mereka (untuk tidak berperang) ?". (QS. At Taubah : 43)
Dalam ayat tersebut Allah menegur Nabi SAW yang memberi izin kepada orang-orang munafiq untuk tidak mengikuti perang Tabuk. Andai izin tersebut merupakan wahyu, maka Allah tidak akan menegur beliau SAW. Jadi, Rasulullah SAW memberi izin kepada mereka tidak lain muncul dari ijtihad beliau sendiri.
9. Perbedaan Para Mujtahid dalam Berijtihad
Perbedaan dalam dunia ijtihad merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari. Perbedaan tersebut bermuara pada delapan hal :
a. Isytirâk al-alfâdh dan al-ma’âny
b. Al-haqîqah dan al-majâz
c. Al-ifrâd dan at-tarkîb
d. Al-khushûsh dan al-‘umûm
e. Ar-riwâyah dan an-naql
f. Ijtihad dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya
g. An-nâsikh dan al-mansûkh
h. Al-ibâhah dan at-tausî’
Diawal mula perkembangan Islam, ijtihad diantara para ulama begitu marak, sehingga muncul banyak sekali madzhab. Ketika itu, masyarakat awam mempunyai banyak pilihan dalam bermadzhab. Namun, seiring perkembangan dan seleksi zaman, hanya empat madzhab yang mampu bertahan dan yang layak untuk diikuti.
Mengapa yang diakui serta diamalkan oleh kalangan Ahl as-sunnah wa al-jama’ah hanya empat madzhab saja ?. Sebenarnya hal ini tidak lepas dari peran murid-murid imam empat madzhab yang secara kreatif membukukan pendapat-pendapat imam mereka, sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi (terbukukan) dengan baik yang pada akhirnya validitas (kebenaran sumber) semua pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Disamping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shohihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan teratur dengan baik sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
10. Sumber Hukum Para Mujtahid
Sumber hukum yang digunakan oleh para mujtahid dapat diketahui dari firman Allah SWT S. an Nisa’ ayat 59 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum Islam ada empat, yaitu al-Qur'an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwasanya perintah untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur'an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti ulil amri berarti perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya ketika tidak ada dalil nash (al-Qur'an dan al-Hadits) dan ijma’ berarti perintah untuk mengikuti qiyas.
Keempat sumber hukum ini harus digunakan secara berurutan, artinya hukum yang digunakan pertama kali adalah hukum yang ada dalam al-Qur'an. Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an, maka dengan hukum yang ada dalam al-Hadits. Jika tidak ada juga, maka digunakan hukum ijma’. Dan yang terakhir dengan menggunakan hukum qiyas sebagaimana dalam urutan ayat diatas.
Sebenarnya masih ada enam sumber hukum lain yang dipergunakan oleh mujtahid, yaitu Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi terhadap hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man qoblana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi sumber-sumber hukum tersebut dalam penggunaannya masih diperselisihkan para ulama’ (mukhtalaf).
11. Ijtihad Tidak Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Setiap Orang
Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah SAW pernah ada seseorang yang terkena luka pada bagian kepalanya, lalu pada suatu malam yang sangat dingin dia berhadats besar. Orang tersebut meminta fatwa kepada kaum muslimin dan mereka menjawab, ”Mandilah!”. Lalu dia mandi, yang kemudian mengakibatkan dirinya meninggal. Hal ini, kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Beliau mencela mereka dengan menganggap bahwa mereka telah membunuh orang tersebut. Dan beliau SAW juga menyayangkan mengapa mereka tidak menanyakan terlebih dahulu perihal tersebut, ketika tidak mengetahui hukum yang sebenarnya. Beliau SAW bersabda : “Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain”.
Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam, tentu Rasulullah SAW tidak mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa kepada orang yang meninggal tersebut.
1. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad di ambil dari kata al-juhd atau al-jahd yang berarti at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan).
Secara istilah, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk menghasilkan dhan pada suatu hukum. Versi lain mengatakan, ijtihad adalah usaha menggali hukum yang tidak ditemukan dalam hukum tersebut nash sharîh yang hanya mungkin mengandung satu kemungkinan arti.
2. Sejarah Ijtihad dan Dasar Hukumnya
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’âdz ra. ke Yaman untuk menjadi hakim, beliau SAW bertanya kepada Mu'adz, "Dengan apa engkau menghukumi", Mu'adz menjawab : "Dengan apa yang ada dalam Kitabullah". Rasulullah SAW bertanya : "Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan menghukumi dengan apa yang di putuskan Rasulullah SAW". Rasul SAW bertanya : "Jika kamu tidak mendapatkan dalam keputusan Rasulullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan berijtihad dengan pendapatku".
Setelah Rasulullah SAW wafat, sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in memberikan fatwa menurut pandangan dan pemahaman mereka tentang kitabullah dan sunah rasulullah kepada masyarakat awam yang bertanya kepada mereka.
Para ulama menyebutkan bahwa orang-orang yang berperan untuk memberikan fatwa di antara mereka (para shahabat) jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari.
Madzhab-madzhab baru terbukukan pada abad kedua dan ketiga hijriah dan baru tersebar puluhan tahun setelah itu. Yaitu setelah para murid senior (ash-hâb) dari masing-masing imam menyebarkan madzhabnya.
Setelah itu timbullah pewarisan madzhab dan penisbatan kepada madzhab-madzhab dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana diketahui dalam sejarah tasyri’ Islam.
Banyak dalil yang menjadi landasan untuk melaksanakan ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya adalah firman Allah SWT :
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله (النساء : 105)
Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan al-kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu". (QS. An Nisa' :105)
إن في ذلك لايات لقوم يتفكرون (الروم : 21)
Artinya : "Sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang befikir". (QS. Ar-Rum : 21)
Dari as-Sunnah di antaranya :
عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران و اذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : "Dari 'Amr bin al-'Ash bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jika seorang hakim menghukumi dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala dan jika ia menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim)
dan juga haditsnya Mu'adz ibnu Jabal ketika beliau mendapatkan pembekalan dari Rasulullah SAW sebelum diutus ke Yaman untuk dijadikan hakim sebagaimana keterangan yang telah lewat.
3. Obyek Ijtihad
Menurut al-Ghazali bahwa permasalahan-permasalahan yang boleh untuk dijadikan obyek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil qoth'iy . Dari pendapat tersebut dapat kita ketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan obyek ijtihad.
Dengan demikian, hukum syara' terbagi dalam dua pengelompokan, yaitu kelompok hukum-hukum syara' yang dapat dijadikan sebagai obyek ijtihad dan kelompok hukum syara' yang tidak dapat dijadikan obyek ijtihad.
Permasalahan yang telah ditentukan hukumnya oleh nash sharîh yang qath’iy al-wurûd dan qath’iy ad-dilâlah tidak ada peluang untuk ijtihad. Seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, kalimah syahadat, larangan zina, khomr, pembunuhan dan sanksi-sanksi hukuman yang secara tegas disampaikan dalam al- Qur'an. Sebagaimana dituangkan dalam al qur’an surat an Nur ayat 2 yang artinya:
Artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera". (QS. An-Nûr : 2)
Nash tersebut jelas maksudnya dalam hal menentukan bilangan hukum jilid, sehingga tidak diperkenankan untuk berijtihad.
Adapun permasalahan yang hukumnya berkaitan dengan nash yang berstatus dhanniy al-wurûd dan dhanniy ad-dilâlah atau salah satu dari wurûd dan dilâlah-nya berstatus dhanniy, maka peluang ijtihad masih terbuka. Hal ini dikarenakan seorang mujtahid diharuskan meneliti dan mengkaji dalil yang berstatus dhanniy al-wurûd dalam segi sanad yang sampai pada Rasulullah, kapasitas para rawinya ditinjau dari segi ‘adâlah, dlâbith, tsiqah, dan sebagainya.
Para mujtahid memiliki standar yang berbeda dalam mengkaji dan meneliti nash tersebut sesuai dengan ushul al-fiqih dan qowa’id al-fiqih mereka masing-masing. Yang tentunya bertendensi pada al-Qur'an dan al-Hadits.
Bila dalil yang berstatus dhanni ad-dilalah, maka seorang mujtahid dalam meneliti dan mengkaji dalil itu diarahkan pada pemahaman makna yang dikehendaki dari dalil tersebut, serta kekuatan penunjukan makna.
Dan bila permasalahannya tidak terdapat hukum keteranganya sama sekali dalam nash (al-Qur'an dan al-Hadits), maka peluang ijtihad sangat terbuka lebar. Karena mujtahid dapat mengetahui hukum permasalahan tersebut melalui dalil-dalil syara' yang lain, yaitu Ijma (kesepakatan para ulama’), Qiyas (analogi/ penyamaan hukum), Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi pada hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man Qoblanâ (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW).
Kesimpulannya, ijtihad dapat diberlakukan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada nash-nya dan permasalahan yang ada nash-nya namun tidak qath'iy. Ijtihad tidak dapat di lakukan pada hukum yang mempunyai nash qath’iy atau hukum-hukum yang kebenaranya tidak dapat diragukan lagi (ma’lûm min ad-dîn bi ad-dlarûrah). Artinya, untuk mengetahui dan mengamalkan hukum tersebut tidak melalui ijtihad, karena dalilnya telah jelas.
4. Macam/Model Ijtihad
Menurut M. Abu Zahrah, ijtihad terbagi menjadi dua macam :
a. Ijtihad dengan model Istinbath al-Ahkâm asy-Syar’iyyah, yaitu ijtihad yang secara khusus menggali hukum-hukum syari'at. Ijtihad semacam ini tertentu bagi kalangan ulama yang mampu dan berupaya mengetahui hukum-hukum furu’ dari nash (adillah tafshîliyah). Menurut mayoritas ulama’ ijtihad semacam ini telah berakhir, karena terbukti tidak ada lagi orang yang mumpuni untuk melakukannya.
b. Ijtihad dengan model Tathbîq al-Ahkâm asy-Syar’iyyah yaitu ijtihad yang secara khusus menerapkan hukum-hukum yang telah digali oleh para mujtahid terdahulu pada permasalahan-permasalahan yang baru muncul. Dengan ijtihad semacam ini dapat diketahui hukum suatu permasalahan yang belum pernah dikaji oleh para mujtahid terdahulu. Usaha menggunakan ijtihad semacam ini disebut tahqîq al-manâth.
Berdasarkan sebagian ulama yang mengatakan ijtihad mencakup ra'yu, qiyas dan akal, mereka memahami ra'yu sebagaimana yang diungkapkan para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid atau setidaknya mendekati syari'at tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Dari pendapat tersebut Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga :
a. Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum syari'at dari nash.
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra'yu (pendapat) berdasarkan kaidah istislah (al-Maslahah al-Mursalah).
Pembagian diatas menurut M. Taqiyu al Hakim masih belum sempurna, karena terdapat beberapa alasan. Menurutnya ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu :
a. Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya berdasarkan akal, tidak menggunakan dalil syara'. Mujtahid dibebaskan berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
b. Ijtihad Syar'i, yaitu ijtihad yang didasarakan syari'at, termasuk dalam pembagian ini adalah Ijma', Qiyas, Istihsan, Istislah, 'Urf, Istihsan dan lain-lain.
5. Syarat-Syarat Mujtahid
a. Menguasai bahasa arab
b. Menguasai ilmu al-Qur'an
c. Menguasai ilmu al-Hadits
d. Mengetahui hukum-hukum ijma’ dan khilaf
e. Mengetahui qiyas
f. Mengetahui maqoshid al-ahkam
g. Intelektualitas yang baik dan benar
h. Memiliki niat yang baik dan i’tiqod yang benar
Melihat persyaratan mujtahid yang begitu ketat, hampir bisa di pastikan bahwa sekarang tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi persyaratan seorang mujtahid secara sempurna.
6. Tingkatan Mujtahid
Menurut M. Abu Zahrah, para ulama ushul fiqih membagi fuqâha menjadi tujuh tingkatan, empat diantaranya dianggap sebagai mujtahid dan lainnya sebagai muqallid. Berikut urutannya :
a. Al-Mujtahidîn fi as-syar’i, Fuqaha’ yang mencapai tingkatan ini disebut mujtahidîn mustaqillîn. Mereka adalah fuqaha’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah di sebutkan di atas dan menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadits secara langsung. Diantara fuqaha` yang telah mencapai tingkatan ini adalah semua fuqaha` dari kalangan sahabat, fuqaha` dari kalangan tabi’in, seperti Sa’îd bin al-Musayyab dan Ibrâhîm an-Nakhâ’iy, fuqaha` yang berijtihad seperti Imam Ja’far Ash-Shadîq, Imam Muhammad al-Bâqir, Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’iy, Imam al-Laits bin Sa’d, Imam Sufyân Ats-Tsauriy, Imam Abu Tsaur dan masih banyak lagi, meskipun madzhab-madzhab mereka tidak terdokumentasikan.
c. Al-Mujtahidîn al-Muntasibîn, mereka adalah fuqaha` yang memilih pendapat seorang imam dalam bidang ushul, namun berbeda pendapat dalam bidang furu’, meskipun secara umum tidak berbeda jauh. Diantara fuqaha` yang mencapai tingkatan ini adalah Imam al-Muzâny dari madzhab Syafi’i, Abdurrahman bin al-Qâsim, Ibnu Wahb, Ibnu Abdul Hakîm dan lainnya.
d. Al-Mujtahidîn fi al-Madzhab, mereka adalah fuqaha` yang mengikuti seorang imam dalam bidang ushul dan furu’. Tugas mereka adalah menggali hukum-hukum dari beberapa permasalahan yang belum pernah ditetapkan oleh imam mereka.
e. Al-Mujtahidîn al-Murajjihîn, mereka adalah fuqaha` yang bertugas mentarjih (meneliti dan menyeleksi) pendapat ulama yang telah diriwayatkan dengan mengunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid sebelumnya.
f. Thabaqah al-Muhafidhîn, Ibnu ‘Âbidîn mengatakan bahwa mereka adalah fuqaha` yang mampu membedakan antara pendapat yang paling kuat (aqwâ), kuat (qowiy), lemah (dlo’if), dhâhir ar-riwâyah, dhâhir al-madzhab, ar-riwâyah an-nâdirah seperti para pengarang kitab matan yang mu’tabar, sehingga mereka tidak menampilkan pendapat-pendapat yang tertolak (qaul mardûd) dan riwayat-riwayat yang lemah dalam kitab-kitab mereka. Tugas mereka bukan mentarjih, namun berusaha mengetahui pendapat yang telah ditarjih dan mengurutkan derajat tarjih sesuai dengan ketetapan murajjihîn.
g. Muqallidîn, mereka adalah fuqaha` yang berada pada tingkatan yang paling bawah. Mereka dapat memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, namun tidak mampu mentarjih pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat ulama terdahulu.
h. Kalangan Awam
7. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkaitan dengan ijtihad, yaitu :
a. Fardu 'ain, tatkala orang terebut menemui permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya, serta tidak boleh taqlid pada orang lain. Karena ijtihad itu sama dengan hukum Allah SWT terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah SWT.
b. Juga Fardu 'ain, apabila ia ditanya suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, karena jika tidak segera dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum itu atau habis waktunya guna mengetahui kejadian tersebut.
c. Fardu kifayah, jika permasalahan yang ditanyakan kepadanya tidak dikhawatirkan habis waktunya atau terdapat orang lain yang sama-sama memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid.
d. Sunah, bila berijtihad pada permasalahan yang baru, baik ditanya atau tidak.
e. Haram, bila berijtihad pada permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth'i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara'.
8. Rasulullah Berijtihad
Ketika Rasulullah menerima para tawanan perang Badar, beliau SAW meminta pendapat para sahabat. Abu Bakar berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibiarkan hidup, karena mungkin saja mereka masih mau bertaubat dengan diharuskan membayar tebusan, guna menambah kekuatan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir. Sedangkan Umar berpendapat bahwa mereka telah berdusta dan mengusir Rasulullah SAW, karena itu mereka harus dibunuh sebagai balasannya. Adapun Ibnu Rawâhah berpendapat, mereka seharusnya dibakar dalam api yang membara. Rasulullah SAW terdiam tidak menanggapi pendapat-pendapat mereka dan kemudian pergi. Para sahabat mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Abu Bakar dan ada yang mengira Rasulullah SAW akan memilih pendapat Umar bahkan ada juga yang mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Ibnu Rowahah. Kemudian Rasulullah SAW datang lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih lunak dari pada air susu dan Allah telah mengeraskan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih keras dari pada batu. Wahai Abu Bakar, sesungguhnya sifatmu seperti sifat Nabi Ibrahim as. yang pernah berkata (didalam alqur’an surat Ibrahim ayat 36 yang artinya :“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ibrahim : 36)
dan seperti sifat Nabi Isa yang pernah berkata (didalam alqur’an surat al Maidah ayat 118) yang artinya : “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 118)
Wahai Umar sifatmu seperti sifat Nabi Nuh yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Nuh ayat 26) yang artinya::"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”. (QS. Nuh : 26)
dan seperti sifat Nabi Musa yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Yunus ayat 88) yang artinya : “Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS. Yunus : 88)
Kemudian Rasulullah berkata : ”Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari mereka sama sekali tidak boleh dilepaskan kecuali telah membayar tebusan atau dipotong lehernya”. Umar mengatakan : “Rasulullah lebih condong pada pendapat Abu bakar dan kurang setuju dengan pendapatku”. Kemudian para tawanan perang tersebut diminta tebusan. Umar berkata : “Keesokan harinya saya mendatangi Rasulullah SAW. Ketika itu beliau dan Abu Bakar sedang menangis". Saya bertanya : “Wahai Rasulullah, ceritakanlah padaku kenapa anda dan sahabat anda ini menangis ?" Rasulullah SAW menjawab : “Aku menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah dijelaskan bagiku bahwa hampir saja adzab turun pada mereka”. Kemudian turunlah qur’an surat al Anfal ayat 67 yang artinya : "Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi, kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Anfal: 67) . Dan ayat 68 yang artinya :"Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil". (QS. Al-Anfal : 68)
Dari ayat diatas Allah SWT menegur Rasululah SAW yang telah menerima tebusan dari orang-orang kafir. Andai penerimaan tebusan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah SWT, maka Allah tidak akan menegur beliau. Dengan demikian, pembayaran tebusan oleh para tawanan tersebut muncul dari ijtihad Nabi SAW.
selain itu ada juga ayat :
عفا الله عنك لم أذنت لهم (التوبة : 43)
Artinya : "Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberikan izin kepada mereka (untuk tidak berperang) ?". (QS. At Taubah : 43)
Dalam ayat tersebut Allah menegur Nabi SAW yang memberi izin kepada orang-orang munafiq untuk tidak mengikuti perang Tabuk. Andai izin tersebut merupakan wahyu, maka Allah tidak akan menegur beliau SAW. Jadi, Rasulullah SAW memberi izin kepada mereka tidak lain muncul dari ijtihad beliau sendiri.
9. Perbedaan Para Mujtahid dalam Berijtihad
Perbedaan dalam dunia ijtihad merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari. Perbedaan tersebut bermuara pada delapan hal :
a. Isytirâk al-alfâdh dan al-ma’âny
b. Al-haqîqah dan al-majâz
c. Al-ifrâd dan at-tarkîb
d. Al-khushûsh dan al-‘umûm
e. Ar-riwâyah dan an-naql
f. Ijtihad dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya
g. An-nâsikh dan al-mansûkh
h. Al-ibâhah dan at-tausî’
Diawal mula perkembangan Islam, ijtihad diantara para ulama begitu marak, sehingga muncul banyak sekali madzhab. Ketika itu, masyarakat awam mempunyai banyak pilihan dalam bermadzhab. Namun, seiring perkembangan dan seleksi zaman, hanya empat madzhab yang mampu bertahan dan yang layak untuk diikuti.
Mengapa yang diakui serta diamalkan oleh kalangan Ahl as-sunnah wa al-jama’ah hanya empat madzhab saja ?. Sebenarnya hal ini tidak lepas dari peran murid-murid imam empat madzhab yang secara kreatif membukukan pendapat-pendapat imam mereka, sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi (terbukukan) dengan baik yang pada akhirnya validitas (kebenaran sumber) semua pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Disamping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shohihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan teratur dengan baik sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
10. Sumber Hukum Para Mujtahid
Sumber hukum yang digunakan oleh para mujtahid dapat diketahui dari firman Allah SWT S. an Nisa’ ayat 59 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum Islam ada empat, yaitu al-Qur'an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwasanya perintah untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur'an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti ulil amri berarti perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya ketika tidak ada dalil nash (al-Qur'an dan al-Hadits) dan ijma’ berarti perintah untuk mengikuti qiyas.
Keempat sumber hukum ini harus digunakan secara berurutan, artinya hukum yang digunakan pertama kali adalah hukum yang ada dalam al-Qur'an. Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an, maka dengan hukum yang ada dalam al-Hadits. Jika tidak ada juga, maka digunakan hukum ijma’. Dan yang terakhir dengan menggunakan hukum qiyas sebagaimana dalam urutan ayat diatas.
Sebenarnya masih ada enam sumber hukum lain yang dipergunakan oleh mujtahid, yaitu Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi terhadap hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man qoblana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi sumber-sumber hukum tersebut dalam penggunaannya masih diperselisihkan para ulama’ (mukhtalaf).
11. Ijtihad Tidak Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Setiap Orang
Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah SAW pernah ada seseorang yang terkena luka pada bagian kepalanya, lalu pada suatu malam yang sangat dingin dia berhadats besar. Orang tersebut meminta fatwa kepada kaum muslimin dan mereka menjawab, ”Mandilah!”. Lalu dia mandi, yang kemudian mengakibatkan dirinya meninggal. Hal ini, kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Beliau mencela mereka dengan menganggap bahwa mereka telah membunuh orang tersebut. Dan beliau SAW juga menyayangkan mengapa mereka tidak menanyakan terlebih dahulu perihal tersebut, ketika tidak mengetahui hukum yang sebenarnya. Beliau SAW bersabda : “Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain”.
Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam, tentu Rasulullah SAW tidak mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa kepada orang yang meninggal tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)