IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad di ambil dari kata al-juhd atau al-jahd yang berarti at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan).
Secara istilah, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan oleh seorang ahli fiqih untuk menghasilkan dhan pada suatu hukum. Versi lain mengatakan, ijtihad adalah usaha menggali hukum yang tidak ditemukan dalam hukum tersebut nash sharîh yang hanya mungkin mengandung satu kemungkinan arti.
2. Sejarah Ijtihad dan Dasar Hukumnya
Sebenarnya ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’âdz ra. ke Yaman untuk menjadi hakim, beliau SAW bertanya kepada Mu'adz, "Dengan apa engkau menghukumi", Mu'adz menjawab : "Dengan apa yang ada dalam Kitabullah". Rasulullah SAW bertanya : "Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan menghukumi dengan apa yang di putuskan Rasulullah SAW". Rasul SAW bertanya : "Jika kamu tidak mendapatkan dalam keputusan Rasulullah ?", Muadz menjawab : "Aku akan berijtihad dengan pendapatku".
Setelah Rasulullah SAW wafat, sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in memberikan fatwa menurut pandangan dan pemahaman mereka tentang kitabullah dan sunah rasulullah kepada masyarakat awam yang bertanya kepada mereka.
Para ulama menyebutkan bahwa orang-orang yang berperan untuk memberikan fatwa di antara mereka (para shahabat) jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari.
Madzhab-madzhab baru terbukukan pada abad kedua dan ketiga hijriah dan baru tersebar puluhan tahun setelah itu. Yaitu setelah para murid senior (ash-hâb) dari masing-masing imam menyebarkan madzhabnya.
Setelah itu timbullah pewarisan madzhab dan penisbatan kepada madzhab-madzhab dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana diketahui dalam sejarah tasyri’ Islam.
Banyak dalil yang menjadi landasan untuk melaksanakan ijtihad, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya adalah firman Allah SWT :
إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله (النساء : 105)
Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan al-kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu". (QS. An Nisa' :105)
إن في ذلك لايات لقوم يتفكرون (الروم : 21)
Artinya : "Sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang befikir". (QS. Ar-Rum : 21)
Dari as-Sunnah di antaranya :
عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران و اذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : "Dari 'Amr bin al-'Ash bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Jika seorang hakim menghukumi dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala dan jika ia menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim)
dan juga haditsnya Mu'adz ibnu Jabal ketika beliau mendapatkan pembekalan dari Rasulullah SAW sebelum diutus ke Yaman untuk dijadikan hakim sebagaimana keterangan yang telah lewat.
3. Obyek Ijtihad
Menurut al-Ghazali bahwa permasalahan-permasalahan yang boleh untuk dijadikan obyek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil qoth'iy . Dari pendapat tersebut dapat kita ketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan obyek ijtihad.
Dengan demikian, hukum syara' terbagi dalam dua pengelompokan, yaitu kelompok hukum-hukum syara' yang dapat dijadikan sebagai obyek ijtihad dan kelompok hukum syara' yang tidak dapat dijadikan obyek ijtihad.
Permasalahan yang telah ditentukan hukumnya oleh nash sharîh yang qath’iy al-wurûd dan qath’iy ad-dilâlah tidak ada peluang untuk ijtihad. Seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, kalimah syahadat, larangan zina, khomr, pembunuhan dan sanksi-sanksi hukuman yang secara tegas disampaikan dalam al- Qur'an. Sebagaimana dituangkan dalam al qur’an surat an Nur ayat 2 yang artinya:
Artinya : "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera". (QS. An-Nûr : 2)
Nash tersebut jelas maksudnya dalam hal menentukan bilangan hukum jilid, sehingga tidak diperkenankan untuk berijtihad.
Adapun permasalahan yang hukumnya berkaitan dengan nash yang berstatus dhanniy al-wurûd dan dhanniy ad-dilâlah atau salah satu dari wurûd dan dilâlah-nya berstatus dhanniy, maka peluang ijtihad masih terbuka. Hal ini dikarenakan seorang mujtahid diharuskan meneliti dan mengkaji dalil yang berstatus dhanniy al-wurûd dalam segi sanad yang sampai pada Rasulullah, kapasitas para rawinya ditinjau dari segi ‘adâlah, dlâbith, tsiqah, dan sebagainya.
Para mujtahid memiliki standar yang berbeda dalam mengkaji dan meneliti nash tersebut sesuai dengan ushul al-fiqih dan qowa’id al-fiqih mereka masing-masing. Yang tentunya bertendensi pada al-Qur'an dan al-Hadits.
Bila dalil yang berstatus dhanni ad-dilalah, maka seorang mujtahid dalam meneliti dan mengkaji dalil itu diarahkan pada pemahaman makna yang dikehendaki dari dalil tersebut, serta kekuatan penunjukan makna.
Dan bila permasalahannya tidak terdapat hukum keteranganya sama sekali dalam nash (al-Qur'an dan al-Hadits), maka peluang ijtihad sangat terbuka lebar. Karena mujtahid dapat mengetahui hukum permasalahan tersebut melalui dalil-dalil syara' yang lain, yaitu Ijma (kesepakatan para ulama’), Qiyas (analogi/ penyamaan hukum), Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi pada hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man Qoblanâ (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW).
Kesimpulannya, ijtihad dapat diberlakukan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada nash-nya dan permasalahan yang ada nash-nya namun tidak qath'iy. Ijtihad tidak dapat di lakukan pada hukum yang mempunyai nash qath’iy atau hukum-hukum yang kebenaranya tidak dapat diragukan lagi (ma’lûm min ad-dîn bi ad-dlarûrah). Artinya, untuk mengetahui dan mengamalkan hukum tersebut tidak melalui ijtihad, karena dalilnya telah jelas.
4. Macam/Model Ijtihad
Menurut M. Abu Zahrah, ijtihad terbagi menjadi dua macam :
a. Ijtihad dengan model Istinbath al-Ahkâm asy-Syar’iyyah, yaitu ijtihad yang secara khusus menggali hukum-hukum syari'at. Ijtihad semacam ini tertentu bagi kalangan ulama yang mampu dan berupaya mengetahui hukum-hukum furu’ dari nash (adillah tafshîliyah). Menurut mayoritas ulama’ ijtihad semacam ini telah berakhir, karena terbukti tidak ada lagi orang yang mumpuni untuk melakukannya.
b. Ijtihad dengan model Tathbîq al-Ahkâm asy-Syar’iyyah yaitu ijtihad yang secara khusus menerapkan hukum-hukum yang telah digali oleh para mujtahid terdahulu pada permasalahan-permasalahan yang baru muncul. Dengan ijtihad semacam ini dapat diketahui hukum suatu permasalahan yang belum pernah dikaji oleh para mujtahid terdahulu. Usaha menggunakan ijtihad semacam ini disebut tahqîq al-manâth.
Berdasarkan sebagian ulama yang mengatakan ijtihad mencakup ra'yu, qiyas dan akal, mereka memahami ra'yu sebagaimana yang diungkapkan para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid atau setidaknya mendekati syari'at tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Dari pendapat tersebut Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga :
a. Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum syari'at dari nash.
b. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan ra'yu (pendapat) berdasarkan kaidah istislah (al-Maslahah al-Mursalah).
Pembagian diatas menurut M. Taqiyu al Hakim masih belum sempurna, karena terdapat beberapa alasan. Menurutnya ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu :
a. Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya berdasarkan akal, tidak menggunakan dalil syara'. Mujtahid dibebaskan berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
b. Ijtihad Syar'i, yaitu ijtihad yang didasarakan syari'at, termasuk dalam pembagian ini adalah Ijma', Qiyas, Istihsan, Istislah, 'Urf, Istihsan dan lain-lain.
5. Syarat-Syarat Mujtahid
a. Menguasai bahasa arab
b. Menguasai ilmu al-Qur'an
c. Menguasai ilmu al-Hadits
d. Mengetahui hukum-hukum ijma’ dan khilaf
e. Mengetahui qiyas
f. Mengetahui maqoshid al-ahkam
g. Intelektualitas yang baik dan benar
h. Memiliki niat yang baik dan i’tiqod yang benar
Melihat persyaratan mujtahid yang begitu ketat, hampir bisa di pastikan bahwa sekarang tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi persyaratan seorang mujtahid secara sempurna.
6. Tingkatan Mujtahid
Menurut M. Abu Zahrah, para ulama ushul fiqih membagi fuqâha menjadi tujuh tingkatan, empat diantaranya dianggap sebagai mujtahid dan lainnya sebagai muqallid. Berikut urutannya :
a. Al-Mujtahidîn fi as-syar’i, Fuqaha’ yang mencapai tingkatan ini disebut mujtahidîn mustaqillîn. Mereka adalah fuqaha’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah di sebutkan di atas dan menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadits secara langsung. Diantara fuqaha` yang telah mencapai tingkatan ini adalah semua fuqaha` dari kalangan sahabat, fuqaha` dari kalangan tabi’in, seperti Sa’îd bin al-Musayyab dan Ibrâhîm an-Nakhâ’iy, fuqaha` yang berijtihad seperti Imam Ja’far Ash-Shadîq, Imam Muhammad al-Bâqir, Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’iy, Imam al-Laits bin Sa’d, Imam Sufyân Ats-Tsauriy, Imam Abu Tsaur dan masih banyak lagi, meskipun madzhab-madzhab mereka tidak terdokumentasikan.
c. Al-Mujtahidîn al-Muntasibîn, mereka adalah fuqaha` yang memilih pendapat seorang imam dalam bidang ushul, namun berbeda pendapat dalam bidang furu’, meskipun secara umum tidak berbeda jauh. Diantara fuqaha` yang mencapai tingkatan ini adalah Imam al-Muzâny dari madzhab Syafi’i, Abdurrahman bin al-Qâsim, Ibnu Wahb, Ibnu Abdul Hakîm dan lainnya.
d. Al-Mujtahidîn fi al-Madzhab, mereka adalah fuqaha` yang mengikuti seorang imam dalam bidang ushul dan furu’. Tugas mereka adalah menggali hukum-hukum dari beberapa permasalahan yang belum pernah ditetapkan oleh imam mereka.
e. Al-Mujtahidîn al-Murajjihîn, mereka adalah fuqaha` yang bertugas mentarjih (meneliti dan menyeleksi) pendapat ulama yang telah diriwayatkan dengan mengunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid sebelumnya.
f. Thabaqah al-Muhafidhîn, Ibnu ‘Âbidîn mengatakan bahwa mereka adalah fuqaha` yang mampu membedakan antara pendapat yang paling kuat (aqwâ), kuat (qowiy), lemah (dlo’if), dhâhir ar-riwâyah, dhâhir al-madzhab, ar-riwâyah an-nâdirah seperti para pengarang kitab matan yang mu’tabar, sehingga mereka tidak menampilkan pendapat-pendapat yang tertolak (qaul mardûd) dan riwayat-riwayat yang lemah dalam kitab-kitab mereka. Tugas mereka bukan mentarjih, namun berusaha mengetahui pendapat yang telah ditarjih dan mengurutkan derajat tarjih sesuai dengan ketetapan murajjihîn.
g. Muqallidîn, mereka adalah fuqaha` yang berada pada tingkatan yang paling bawah. Mereka dapat memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, namun tidak mampu mentarjih pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat ulama terdahulu.
h. Kalangan Awam
7. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkaitan dengan ijtihad, yaitu :
a. Fardu 'ain, tatkala orang terebut menemui permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya, serta tidak boleh taqlid pada orang lain. Karena ijtihad itu sama dengan hukum Allah SWT terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah SWT.
b. Juga Fardu 'ain, apabila ia ditanya suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, karena jika tidak segera dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum itu atau habis waktunya guna mengetahui kejadian tersebut.
c. Fardu kifayah, jika permasalahan yang ditanyakan kepadanya tidak dikhawatirkan habis waktunya atau terdapat orang lain yang sama-sama memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid.
d. Sunah, bila berijtihad pada permasalahan yang baru, baik ditanya atau tidak.
e. Haram, bila berijtihad pada permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth'i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara'.
8. Rasulullah Berijtihad
Ketika Rasulullah menerima para tawanan perang Badar, beliau SAW meminta pendapat para sahabat. Abu Bakar berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibiarkan hidup, karena mungkin saja mereka masih mau bertaubat dengan diharuskan membayar tebusan, guna menambah kekuatan kaum muslimin untuk melawan kaum kafir. Sedangkan Umar berpendapat bahwa mereka telah berdusta dan mengusir Rasulullah SAW, karena itu mereka harus dibunuh sebagai balasannya. Adapun Ibnu Rawâhah berpendapat, mereka seharusnya dibakar dalam api yang membara. Rasulullah SAW terdiam tidak menanggapi pendapat-pendapat mereka dan kemudian pergi. Para sahabat mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Abu Bakar dan ada yang mengira Rasulullah SAW akan memilih pendapat Umar bahkan ada juga yang mengira bahwa Rasulullah SAW akan memilih pendapat Ibnu Rowahah. Kemudian Rasulullah SAW datang lagi dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah melunakkan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih lunak dari pada air susu dan Allah telah mengeraskan hati beberapa orang laki-laki hingga lebih keras dari pada batu. Wahai Abu Bakar, sesungguhnya sifatmu seperti sifat Nabi Ibrahim as. yang pernah berkata (didalam alqur’an surat Ibrahim ayat 36 yang artinya :“Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ibrahim : 36)
dan seperti sifat Nabi Isa yang pernah berkata (didalam alqur’an surat al Maidah ayat 118) yang artinya : “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah : 118)
Wahai Umar sifatmu seperti sifat Nabi Nuh yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Nuh ayat 26) yang artinya::"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”. (QS. Nuh : 26)
dan seperti sifat Nabi Musa yang pernah berkata (dalam al qur’an surat Yunus ayat 88) yang artinya : “Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (QS. Yunus : 88)
Kemudian Rasulullah berkata : ”Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari mereka sama sekali tidak boleh dilepaskan kecuali telah membayar tebusan atau dipotong lehernya”. Umar mengatakan : “Rasulullah lebih condong pada pendapat Abu bakar dan kurang setuju dengan pendapatku”. Kemudian para tawanan perang tersebut diminta tebusan. Umar berkata : “Keesokan harinya saya mendatangi Rasulullah SAW. Ketika itu beliau dan Abu Bakar sedang menangis". Saya bertanya : “Wahai Rasulullah, ceritakanlah padaku kenapa anda dan sahabat anda ini menangis ?" Rasulullah SAW menjawab : “Aku menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah dijelaskan bagiku bahwa hampir saja adzab turun pada mereka”. Kemudian turunlah qur’an surat al Anfal ayat 67 yang artinya : "Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi, kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Anfal: 67) . Dan ayat 68 yang artinya :"Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil". (QS. Al-Anfal : 68)
Dari ayat diatas Allah SWT menegur Rasululah SAW yang telah menerima tebusan dari orang-orang kafir. Andai penerimaan tebusan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah SWT, maka Allah tidak akan menegur beliau. Dengan demikian, pembayaran tebusan oleh para tawanan tersebut muncul dari ijtihad Nabi SAW.
selain itu ada juga ayat :
عفا الله عنك لم أذنت لهم (التوبة : 43)
Artinya : "Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberikan izin kepada mereka (untuk tidak berperang) ?". (QS. At Taubah : 43)
Dalam ayat tersebut Allah menegur Nabi SAW yang memberi izin kepada orang-orang munafiq untuk tidak mengikuti perang Tabuk. Andai izin tersebut merupakan wahyu, maka Allah tidak akan menegur beliau SAW. Jadi, Rasulullah SAW memberi izin kepada mereka tidak lain muncul dari ijtihad beliau sendiri.
9. Perbedaan Para Mujtahid dalam Berijtihad
Perbedaan dalam dunia ijtihad merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari. Perbedaan tersebut bermuara pada delapan hal :
a. Isytirâk al-alfâdh dan al-ma’âny
b. Al-haqîqah dan al-majâz
c. Al-ifrâd dan at-tarkîb
d. Al-khushûsh dan al-‘umûm
e. Ar-riwâyah dan an-naql
f. Ijtihad dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya
g. An-nâsikh dan al-mansûkh
h. Al-ibâhah dan at-tausî’
Diawal mula perkembangan Islam, ijtihad diantara para ulama begitu marak, sehingga muncul banyak sekali madzhab. Ketika itu, masyarakat awam mempunyai banyak pilihan dalam bermadzhab. Namun, seiring perkembangan dan seleksi zaman, hanya empat madzhab yang mampu bertahan dan yang layak untuk diikuti.
Mengapa yang diakui serta diamalkan oleh kalangan Ahl as-sunnah wa al-jama’ah hanya empat madzhab saja ?. Sebenarnya hal ini tidak lepas dari peran murid-murid imam empat madzhab yang secara kreatif membukukan pendapat-pendapat imam mereka, sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasi (terbukukan) dengan baik yang pada akhirnya validitas (kebenaran sumber) semua pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Disamping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shohihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan teratur dengan baik sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
10. Sumber Hukum Para Mujtahid
Sumber hukum yang digunakan oleh para mujtahid dapat diketahui dari firman Allah SWT S. an Nisa’ ayat 59 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa’ : 59)
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sumber hukum Islam ada empat, yaitu al-Qur'an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwasanya perintah untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur'an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti ulil amri berarti perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi ulil amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya ketika tidak ada dalil nash (al-Qur'an dan al-Hadits) dan ijma’ berarti perintah untuk mengikuti qiyas.
Keempat sumber hukum ini harus digunakan secara berurutan, artinya hukum yang digunakan pertama kali adalah hukum yang ada dalam al-Qur'an. Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an, maka dengan hukum yang ada dalam al-Hadits. Jika tidak ada juga, maka digunakan hukum ijma’. Dan yang terakhir dengan menggunakan hukum qiyas sebagaimana dalam urutan ayat diatas.
Sebenarnya masih ada enam sumber hukum lain yang dipergunakan oleh mujtahid, yaitu Istihsan (anggapan baik suatu perkara), Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i), ‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i), Istishhab (konsistensi hukum yang baru terjadi terhadap hukum yang sudah pernah berlaku), Syar’ man qoblana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW), Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad SAW). Akan tetapi sumber-sumber hukum tersebut dalam penggunaannya masih diperselisihkan para ulama’ (mukhtalaf).
11. Ijtihad Tidak Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Setiap Orang
Abu Dawud meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah SAW pernah ada seseorang yang terkena luka pada bagian kepalanya, lalu pada suatu malam yang sangat dingin dia berhadats besar. Orang tersebut meminta fatwa kepada kaum muslimin dan mereka menjawab, ”Mandilah!”. Lalu dia mandi, yang kemudian mengakibatkan dirinya meninggal. Hal ini, kemudian dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Beliau mencela mereka dengan menganggap bahwa mereka telah membunuh orang tersebut. Dan beliau SAW juga menyayangkan mengapa mereka tidak menanyakan terlebih dahulu perihal tersebut, ketika tidak mengetahui hukum yang sebenarnya. Beliau SAW bersabda : “Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain”.
Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam, tentu Rasulullah SAW tidak mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa kepada orang yang meninggal tersebut.
Selasa, 17 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar